online degree programs

Jumat, Maret 20, 2009

Post-Gerakan Mahasiswa (1)



Pada Selasa, 17 Maret 2009 kemarin, Komunitas Embun Pagi telah menggelar diskusi, orasi budaya, dan launching buku Embun Pagi Nglindur di Gedung Bundar FBS Unnes. Peserta yang datang lumayan, kayaknya sekitar 100-an dari dalam kampus dan luar, dan diskusi berjalan gayeng, terutama oleh nasehat-nasehat Prof. Abu Su'ud, provokasi Kang Putu dan Pak Saratri. Untuk memenuhi permintaan dari teman-teman tentang materi "semacam manifesto" dari kami -komunitas embun pagi- yang kebetulan saya bawakan waktu itu, maka di sini saya posting paper paper saya yg berjudul "Post-gerakan mahasiswa" menjadi tiga kali posting, selamat menikmati, kami tunggu kritik dan sarannya..!!!

Betapa berat dan sukarnya perjuangan menuju kebenaran. Betapa gigihnya dekaden-dekaden ilmiah bertahan. Dan betapa kita harus memeranginya. Kita dalam bertindak dengan benar memakai segi rasio dan intuisi sedang mereka hanya membakar perasaan lalu pergi begitu saja.” (Soe Hok-Gie)

Berdirinya komunitas embun pagi resmi pada akhir 2007 yang lalu sebenarnya lebih didasari oleh rasa ingin tahu yang dalam tentang segala, keinginan untuk belajar membaca dan menuliskan segala, yang selama ini tidak terwadahi oleh layanan pendidikan di dalam kampus selama menjadi mahasiswa. Alasan lainnya tentu yang bersifat ideologis. Kalau dipikir-pikir lebih jauh, maka komunitas ini tidak seperti mainstream gerakan mahasiswa yang ada sekarang ini, yang terdiri dari organisasi mahasiswa intra dan ekstrakampus. Namun adalah sebagai komunitas intelektual yang juga relatif berbeda dibandingkan dengan komunitas intelektual yang dibuat oleh mahasiswa dengan menekankan peran mahasiswa sebagai determinan penting di dalamnya.

Dalam kerangka gerakan sosial baru (new social movement) atau gerakan mahasiswa (student movement) maka komunitas embun pagi dan komunitas lain yang sejenis dapat disebut sebagai post-gerakan mahasiswa. Hal itu karena secara mudahnya anggotanya tidak hanya terdiri dari mahasiswa, sebuah bentuk yang berbeda dari mainstream gerakan mahasiswa sekarang, sebuah bentuk gerakan “setelah” gerakan mahasiswa sekarang ini, mencoba mengoreksi gerakan mahasiswa yang ada sekarang dan mengembalikannya pada semangat intelektualisme dari komunitas-komunitas intelektual atau komunitas epistemik (epistemic community). Agar tidak dikatakan sebagai sesuatu yang mengada-ada, melainkan sesuatu yang mengada, maka di sini akan digali lebih jauh lagi konstruksi teoritis yang mendasari digagasnya komunitas epistemik atau komunitas intelektual seperti komunitas embun pagi ini.

Post-gerakan mahasiswa adalah gagasan yang dibangun dengan mengambil gagasan klasik Gramsci mengenai blok historis dan intelektual organik, diramu dengan militansi ala gerakan Islam kanan, memegang ideologi kritis sebagai ideologi gerakan, dan diisi dengan substansi yang lebih terbuka dan ditekankan pada intelektualisme sebagai aktivitas politik. Dengan begitu, post-gerakan mahasiswa mencoba menghidupkan kembali komunitas-komunitas intelektual yang mulai dilupakan substansi pentingnya oleh mainstream gerakan mahasiswa sekarang, sebagai bentuk gerakan sosial yang melampaui bentuk gerakan mahasiswa sekarang ini, bahkan dalam titik terjauhnya tidak lagi menempatkan mahasiswa sebagai determinan penting dalam sebuah perubahan sosial.

Gagasan ini menggunakan istilah post-gerakan mahasiswa dengan maksud untuk membedakan diri dari konsep neo-gerakan mahasiswa, kalau neo-gerakan mahasiswa maka ia masih menempatkan gerakan mahasiswa sebagai determinan penting perubahan sosial –karena gerakan mahasiswa adalah bagian dari gerakan sosial baru (new social movement), neo-gerakan mahasiswa adalah bentuk baru atau kelanjutan dari gerakan mahasiswa yang ada sekarang ini, namun dengan istilah “post” maka tiada kewajiban untuk menempatkan gerakan mahasiswa sebagai determinan penting perubahan sosial. Pergeseran ini diakibatkan oleh beberapa kondisi gerakan mahasiswa yang teramat mengecewakan akhir-akhir ini, yang pada akhirnya memaksa untuk “menemukan gagasan baru” yang dirasa lebih tepat dalam upaya untuk mengemban amanat dalam perubahan sosial masyarakat. Gagasan baru ini dirasa akan lebih mampu memecahkan masalah sosial yang alih-alih dipecahkan oleh gerakan mahasiswa selama ini, justru semakin dibuat runyam oleh mereka.

Dengan mengikuti nalar para pemikir dan pembaca diskursus posmodernisme ketika mereka mendefiniskan posmodernisme secara cair, maka istilah post-gerakan mahasiswa ini pun mengikut nalar cara mereka mendefinisikan diri tersebut, walaupun begitu bukan berarti gagasan post-gerakan mahasiswa ini merunduk di bawah bayang-bayang posmodernisme. Kalaupun dikatakan gagasan ini lahir dari posmodernisme, maka mungkin sekadar pada ide pengambilan istilah “post” saja, karena sebagaimana sedikit dikemukakan di depan, gagasan post-gerakan mahasiswa ini justru berangkat dari gagasan Gramscian, seorang post-marxis yang belum terpengaruh oleh ide matinya subjek ala posmo, diilhami oleh militansi gerakan Islam kanan –yang sudah tentu tidak nihilis sebagaimana banyak pemikir menginterpretasikan posmodernisme, namun mengisinya dengan keterbukaan, kejamakan, sebagaimana banyak ide pemikir posmo mengakui dan memperjuangkan liyan (the others), perbedaan, dan penekanan intelektualisme sebagai aktivitas politik lebih bernuansa ideologi kritis dari pemikir-pemikir Mazhab Frankfurt atau yang terpengaruh olehnya. Jadi, gagasan post-gerakan mahasiswa ini tidak tunggal –diakui atau tidak ungkapan ini memang terdengar posmo, meyakini sebuah cita-cita besar (metanarasi) keadilan, kesejahteraan, kebaikan, kebenaran –suatu yang tiada lagi diyakini oleh posmo, katakanlah kalau mesti disebut posmo, maka gagasan ini adalah posmodernisme kritis, atau apalah namanya namun ideologi dasarnya adalah ideologi kritis.

Dalam post-modernisme yang dipahami oleh Lyotard misalnya, bahwa ia merupakan refleksi dari kondisi-kondisi kebudayaan yang tiada lagi merupakan presentasi atau representasi dari modernisme, namun merupakan kondisi-kondisi kebudayaan yang melampaui dan bahkan terputus dari cita-cita besar dari modernisme, yaitu kesejahteraan bersama, peradaban yang humanis, keadilan bagi semua, dan lainnya. Modernisme yang diasalkan pada semangat pencerahan memiliki cita-cita tersebut dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi hingga tercipta masyarakat industrialis, revolusi industri, revolusi teknologi informasi dan komunikasi, ternyata membuahkan kondisi yang sama sekali berbeda dari cita-cita agung modernisme, yang terjadi justru adalah ketidakadilan, merajalelanya kemiskinan, dehumanisasi, dan lainnya. Kondisi tersebut menunjukkan modernisme tiada lagi berdaya untuk menggapai keadilan, kesejahteraan, dan peradaban humanis yang ia janjikan.

Dengan kata lain, sebagaimana Yasraf menyatakan bahwa modernitas telah kehilangan tujuan teleologisnya, dan kini menjadi bagian rutin dari masyarakat konsumer yang bergantung pada produksi secara terus menerus yang dengan demikian sangat bergantung pada kemajuan rutin semata. Intinya, modernitas telah bergerak melewati batas tujuan teleologisnya (misalnya masyarakat adil makmur atau masyarakat tanpa kelas) dan kini menghamba pada masyarakat konsumer atau kapitalisme global, yang disebut Yasraf sebagai masyarakat fatalistik yang telah kehilangan arah tujuan, dan semata menggantungkan serta menghanyutkan diri di dalam irama produksi dan konsumsi, pergantian gaya dan gaya hidup, dalam penampakan dan prestise. Bagi Jean Badrillard, semuanya berkembang ke arah hyper, yaitu kondisi ketika setiap sifat atau aktivitas sosial berkembang ke arah titik ekstrim, ke arah kondisi melampaui batas-batas alamiahnya. Wacana sosial dan kebudayaan sekarang menuju pada kondisi hipermodernitas (hypermodernity), yaitu kondisi ketika segala sesuatu bertumbuh lebih cepat, ketika tempo kehidupan menjadi semakin tinggi, ketika setiap wacana bertumbuh ke arah ekstrim.

Sebagaimana posmodernisme tersebut, maka post-gerakan mahasiswa pun merupakan refleksi atas kondisi gerakan mahasiswa sekarang yang tiada lagi menunjukkan dirinya sendiri, tiada lagi memiliki konsep, sikap, dan gerakan sebagaimana idealnya sebuah gerakan mahasiswa memiliki konsep, sikap, dan gerakan. Satu prinsip ideal gerakan mahasiswa tersebut adalah menjadi oposisi permanen, yang selalu bersikap kritis terhadap semua bentuk ketidakadilan, diskriminasi, baik yang dilakukan oleh rezim berkuasa (baca: negara) ataupun lainnya, dengan selalu berupaya memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, yang dengan demikian meniscayakan perlawanan terhadap rezim penindas, pembuat ketidakadilan. Peran ini adalah peran yang tidak dapat ditawar oleh mereka yang menahbiskan diri sebagai aktivis gerakan mahasiswa. Namun ternyata kondisi gerakan mahasiswa sekarang tiada banyak lagi yang setia menjadi oposisi permanen, iming-iming materi dan kesuksesan dunia showbiz para politisi telah menggoda dan menggelincirkan idealisme mahasiswa sebagai oposisi permanen. Banyak para aktivis mahasiswa dan bahkan organisasi mahasiswa sekarang tunduk merunduk di bawah ketiak para politisi, di bawah kendali partai politik yang ingin merebut kekuasaan politik pemerintahan. Gerakan mahasiswa jadi mandul, para aktivis ibarat kerbau dicocok hidungnya ketika dijanjikan posisi strategis walau sekadar kacung politik nomor sepatu, dalam istilahnya Baudrillard, semuanya sudah dikuasai oleh logika hasrat, bukan lagi logika kebutuhan.

Jika sudah begitu, maka gerakan mahasiswa tiada lagi dapat menjadi oposisi permanen, ia tiada lagi dapat independen dalam menentukan sikap politiknya sendiri tanpa intervensi dari para politikus dan partai yang menjadi patronnya. Partai-partai yang selalu berupaya untuk menggapai kekuasaan politik pemerintahan, dengan menggalang koalisi, negosiasi dan deal-deal politik tertentu, sebagai bentuk pragmatisme politik praktis yang tiada lagi mempertimbangkan basis ideologi masing-masing, menjadikan gerakan mahasiswa turut larut dalam pragmatisme kekuasaan politik praktis, ikut melestarikan budaya politik yang hanya berputar di antara kapital dan kekuasaan dengan menjauhi fatsoen politik dan intelektualisme. Dalam satu kasus misalnya, sebuah partai karena kepentingan politik praktis tertentu maka sikap politiknya adalah memihak penguasa (incumbent), maka mereka relatif tidak kritis terhadap pemerintah, ketidakkritisan inipun mesti dilakukan oleh gerakan mahasiswa yang berada di bawah kendalinya.

Dengan demikian maka timbul pertanyaan, lalu apa bedanya antara partai politik dengan gerakan mahasiswa, jika keduanya sama-sama mengabdi pada kekuasaan? Padahal satu bentuk ideal adanya gerakan mahasiswa adalah sebagai gerakan politik alternatif, yang kritis, yang bersetia pada kemanusiaan, yang tidak mengarah pada kekuasaan. Ketika partai politik praktis semuanya mengabdi pada kekuasaan, mabuk pada kekuasaan, dan melakukan berbagai hal untuk mencapainya, dan ketika mereka berkuasa berada di tampuk kekuasaan ternyata membuat kekacauan dengan obsesi status quo, mengeluarkan kebijakan yang tidak memihak rakyat tapi justru memihak para kapitalis-borjuis, maka gerakan mahasiswalah yang bertugas meluruskannya. Posisi ideal gerakan mahasiswa ini akan berantakan ketika gerakan mahasiswa –baik personal maupun kolektif- mulai berselingkuh dengan partai politik. Secara historis, ternyata gerakan mahasiswa memang tidak dapat dilepaskan dari politik kekuasaan.

Pada kenyataannya banyak organisasi ekstrakampus lahir dari prakarsa partai politik yang menginginkan memiliki organisasi kader berbasis mahasiswa, atau sebaliknya, organisasi mahasiswa yang sudah “mapan” mendirikan partai politik, dengan demikian keduanya memiliki relasi patronase politik dan kapital. Organisasi mahasiswa terutama ekstrakampus dalam konteks sejarah Indonesia pun tidak dapat dilepaskan dari peran partai politik dan ormass yang bertarung dalam arena perebutan kuasa pemerintahan, oleh karenanya diakui atau tidak, banyak organisasi mahasiswa menjadi underbow partai politik dan ormass tertentu. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) misalnya dulu lebih dekat dengan Masyumi, sekarang banyak aluminya di Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN); Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) secara kultural dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan banyak senior PMII berada di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP); Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) secara ideologis dekat dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan memang banyak alumninya berada di PKS. Hubungan senior-junior yang ada di organisasi dan partai politik mewujud dalam bentuk patronase kapital dan politik, hal inilah yang menjadikan organisasi mahasiswa ekstrakampus tidak mampu mandiri, otonom, dan independen, ikatan patronase tersebut justru mengkerdilkan mental dan peran organisasi mahasiswa, membonsai potensi kritis dan kemampuan untuk mandiri sebagai modal utama untuk mandiri dalam bersikap dan beraksi.

Hal inilah yang menjadikan gerakan mahasiswa sebenarnya tidak pernah independen, tidak pernah mandiri dan bebas dalam menentukan sikapnya sendiri, ia selalu mempertimbangkan apa keputusan partai atau ormass afiliasinya, atau senior mereka yang ada di posisi-posisi pemerintahan. Hal itu terjadi tidak sekadar karena ikatan ideologis dan kepentingan politik, tapi juga karena selama ini organisasi mahasiswa ekstrakampus tersebut dapat hidup dan berjalan karena donasi dari partai, ormass, dan senior mereka yang ada di pemerintahan tersebut. Maka menjadi wajar ketika gerakan mahasiswa atau tepatnya organisasi-organisasi mahasiswa ekstrakampus tersebut lebih sebagai tunggangan untuk mencapai tujuan politik dari partai atau ormass saja. Jadi, mandulnya gerakan mahasiswa pascareformasi ’98 bukan karena tiadanya musuh bersama, atau sudah terbukanya kran demokrasi hingga seakan tiada lagi yang mesti diperjuangkan sebagaimana yang sering dikemukakan selama ini, tapi lebih karena patronase mereka pada partai dan ormass atau bahkan penguasa yang menjadikan mereka tidak mandiri dan tidak punya daya untuk bersikap. Harapan agar gerakan mahasiswa dapat solid dan tidak terfragmentasi karena perbedaan orientasi ideologi dan politik seperti sekarang agaknya terlalu berlebihan, karena secara historis, ideologis, dan tujuan politik masing-masing berbeda yang sebagian besar atau bahkan semuanya dikendalikan oleh partai atau ormass yang lebih besar.

Edi Subkhan, penulis...

Tidak ada komentar: