online degree programs

Selasa, April 01, 2008

Cerita Tentang Itu

Pagi agak mendung ketika aku beranjak dari depan computer untuk pergi mandi, sebentar saja. Dengan pakaian seadanya, berjalan kaki yang akhir-akhir ini sudah jarang aku lakukan akhirnya sampai di kampus. Beberapa saat bertegur sapa dengan beberapa kenalan, basa-basi identitas kesukuanku yang masih saja etnosentris, lalu kuarahkan kaki menuju warnet yang ternyata penuh sesak seperti biasanya. Rencana membuka site “komunitas embun pagi” belum menjadi rejeki, tak apalah, tak harus dipikirkan seperti membaca “lifestyle”nya David Chaney pikirku. Tak seberapa lama setelah kembali berbincang dengan seorang teman, mataku menangkap jarum jam yang menyatu pada angka 11, kok bisa pas sekali? Bergegas jalanku menuju gedung sebelah, ada kuliah Psikologi Belajar seperti tertulis di jadwal. Jadwal yang katanya menutup ruang kebebasan, ah ada-ada saja. Sebentar lagi kuliah, dan presentasi, wiridanku saat itu.

Wiridan itu putus, memang tak pandai saja konsentrasiku. Kerumunan teman-teman yang seperti ngerumpi, membicarakan semuanya tanpa bekas, tanpa tujuan tetapi menyenangkan. Mungkin itu yang banyak dilupakan orang sekarang, semuanya harus praktis dan bertujuan, ini pasti gara-gara materialismenya Marx itu.. Oh, tidak. Ternyata mereka sedang saling berempati. Seseorang ditengah kerumunan matanya berkaca-kaca, bahkan basah tak beda dengan rutinitas Kaligawe yang membuat rantai sepeda motorku jadi kendur selain karena jarang servis di bengkel. Sayup-sayup terdengar “tadi dia dapet telpon, ayahnya meninggal”. Aku puaskan diriku dengan informasi itu, dan berjalan lagi. Maaf teman, bukan maksudku tidak berempati, tapi empatiku agaknya hanya semakin menambah kesedihanmu yang datang tiba-tiba.

Sambil berjalan, kuraba diriku. Aneh, aku biasa saja, pun dalam kuliah. Hanya saja terus terpikirkan. Bagaimana jika itu tiba-tiba teralamatkan kepadaku? Bagaimana jika aku yang itu? Adakah yang mau menangis demi aku dan kesedihan itu? Egois sekali memang, memang semua orang harus egois setidaknya jika saat tujuan dari semua kehidupan itu tiba. Sempat tersungging senyum di bibir, kekagumanku pada ayah temanku. Dalam awal dunia barunya, ada yang menangisi kepergiannya. Rupanya ia masih sangat dibutuhkan oleh orang lain, dia berguna bagi yang lain, dia orang baik.

Dari sisi lain, pastinya seorang teman itu tak menyangka, ketika tadi mandi, berangkat kuliah, sampai akhirnya mendapatkan kabar telpon. Bukan lagi telegram yang boros segalanya, si Marx sekarang bukan lagi kiri! Mungkin saja dari awal dia mengira hari-harinya akan seperti hari-hari sebelumnya.

Pikiranku telah kembali pada jalannya kuliah. Pak dosen menjelaskan teori behavioristik, setiap perilaku adalah baru, tidak ada hal yang sama persis! Semua stimuli itu baru, sehingga responnya juga baru. Senin lalu, di ruang yang sama juga kuliah dengan mata kuliah yang sama. Tetapi materinya berbeda, suhu udara, pakaian yang kami kenakan, cuaca, dan lain-lain yang berbeda. Semuanya itu baru dan menimbulkan respon yang baru. Katanya perilaku manusia suatu “lingkaran setan” stimulus-respon. Sederhana sekali memang, seperti rumusan persamaan kuadrat atau segitiga Phytagoras. Phyitagoras juga berkata “semesta adalah suatu keseluruhan yang teratur” semua bisa dirumuskan baginya. Wajar saja, Emha yang mengatakan “dunia adalah tempat ketidak pastian, dan manusia adalah makhluk ketidak pastian” memang belum lahir. Tapi berbeda bukan dosa, tak apalah.

Pak dosen juga bercerita masa mudanya, yang pernah menuliskan sesuatu tentang malam. Malam yang datang kala mentari mohon diri. Mengutip syair lagu Pas Band “malam hari tetaplah malam, tak pernah dia menghilang..” ya, dalam gemerlap bintang ataupun kelabunya mendung, malam tak akan dibahasakan siang. Mungkin si teoris (behavioristik) itu terlupa dengan satu pepatah klasik inggris “there is nothing new under the sun” dan belum tahu syair lagu Scorpion “and we are live under the same sun..

Semoga ini tidak dimaknai menari di atas kesedihan orang lain, tapi kata Derrida tidak ada selain penafsiran yang berbeda. Sudahlah, terserah saja..

Embun pagi ini,

segar dan bening,

lembut dan dingin,

Seperti embun kemarin.

Usia terlalu singkat,

untuk terus berharap.

Jiwa terlalu lemah,

untuk selalu pasrah.

Innalillahi wainnailaihi roji’un..

Ahmad Fahmi Mubarok

Tidak ada komentar: