Jika setiap manusia mempunyai kepribadian, maka masyarakat mempunyai kebudayaan. Manusia sebagai bagian dari masyarakat dikenai tuntutan untuk berinteraksi dengan manusia lain, yang sedikit-banyak akan mempengaruhi pembentukan kepribadiannya. Melihat dari kaca mata nativistik, kepribadian manusia pada dasarnya diturunkan secara alamiah dari generasi sebelumya (baca: orang tua). Sedangkan menurut teori empirisme, manusia terlahir bagaikan kertas putih yang siap untuk dibubuhi bermacam-macam coretan oleh lingkungannya. Namun tentu tidak melulu nativis-empiris yang dikotomik, ada beberapa hal yang memang bawaan, dan beberapa lain merupakan pengaruh lingkungan. Dimana garis batas antara bawaan atau pengalaman, sampai saat ini masih diperdebatkan dan diteliti oleh para pakar “manusia’.
Sedikit mengesampingkan perdebatan di atas, dan kembali pada kalimat pertama paragraph sebelumnya. Seperti halnya kepribadian, pembentukan budaya dalam masyarakat pun demikian. Adanya interaksi dalam masyarakat (antar komponen masyarakat), interaksi antar masyarakat, pada akhirnya diistilahkan dengan-budaya-termasuk tradisi-tradisi yang bersifat ritualistik. Interaksi masyarakat (baik intern maupun antar) merupakan suatu proses yang berlangsung terus menerus, sehingga menimbulkan dinamika konstruk budaya pada masyarakat terkait.hal semacam ini terjadi pada semua kelompok manusia (masyarakat), dengan perbedaan pada kadarnya saja.
Keniscayaan Perubahan
Dalam keterikatannya dengan ruang dan waktu, semua hal pasti berubah, tidak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri (Hans Kung). Tak terkecuali budaya. Mengambil contoh dari sejarah, bagaimana masyarakat Eropa pada era Renaissance yang bermula ketika para pemikir sekuler sadar akan kedalaman nilai, peran intelektual, dan estetika peradaban Yunani, yang selama era sebelumnya-abad kegelapan-dipandang sebelah mata. Hal sama juga dilakukan oleh kalangan agamawan, hengkang dari doktrin-doktrin gereja, yang dalam kurun waktu lama dianggap mengalami distorsi. Kisah panjang eropa (dan dunia) itu berakhir dengan “kemenangan” untuk kaum sekuler (plus atheis) atas kaum religius.
Kasus diatas kiranya layak untuk dijadikan bahan renungan, pertimbangan-pertimbangan ketika akan menawarkan suatu perubahan. Mengusahakan kemajuan tak berarti harus mengorbankan tradisi. Yang dimaksudkan di sini, bukan menyerah seratus persen kepada tradisi. Toh, tradisi juga bagian dari hasil kreasi manusia yang harus berhadapan dengan “takdir” perubahan. Mengutip kalimat dari Soe Hok gie, “jangan tanyakan tetnang kapan! Perubahan hanya soal waktu. Cepat atau lambat, perubahan pasti terjadi.”
Fight or Flight
Disamping makan dan berkembang biak, naluri lain yang dimiliki binatang adalah bertempur atau berlari. Tak hanya binatang, manusia pun dalam keadaan tertentu akan melakukan regresi sampai pada naluri dasar itu. Jika disesuaikan dengan konteks di atas, fight or flight bisa saja dibenarkan. Tetapi jika diterapkan pada proses pembentukan dan akulturasi budaya, semestinyakah fight or flight itu diterapkan sebagai dasar tindakan? Permasalahan yang sebenarnya bukanlah berubah atau tidak, mengingat perubahan sudah pasti terjadi. Apabila suatu budaya menutup diri terhadap pengaruh luar, justru kualitas budaya terkait sama sekali tidak teruji, ibarat dalam ruang hampa. Bisa dikatakan budaya tersebut beku. Pun hanya pasrah dan terseret dalam gelombang perubahan, sama saja dengan kematian.
Yang perlu dilakukan di sini adalah mencari kembali makna dari tradisi-tradisi yang diwariskan, tak sekedar ora ilok tanpa ada alasan yang bisa diterima secara logis dan etis. Melalui penyusuran sejarah, sehingga dapat diketahui makna suatu ritual dan selanjutnya mempertanyakan apakah dirubah sama sekali, perlu disesuaikan dengan konteks kekinian atau tetap dipertahankan. Jadi pilihan yang ditawarkan bukan hanya orang yang bersanggul, berkonde, berkemben, berkeris, merayakan ulang tahun di McDonalds dengan iringan merdu musik Luciano Pavarroti atau petikan gitar John Petrucci. Opsi lain, bercelana hippies, model rambut emo, yang dengan khikmad mengikuti prosesi keraton kasultanan Surakarta.
Ahmad Fahmi Mubarok
Mahasiswa Psikologi FIP UNNES.
Rabu, April 02, 2008
Menyikapi Budaya Memperlakukan Perubahan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
artikel anda sangat menarik dan bagus, artikel anda:
http://www.infogue.com/
http://www.infogue.com/seni_budaya/menyikapi_budaya_memperlakukan_perubahan/
anda bisa promosikan artikel anda di infoGue.com yang akan berguna untuk semua pembaca. Telah tersedia plugin/ widget vote & kirim berita yang ter-integrasi dengan sekali instalasi mudah bagi pengguna. Salam!
Posting Komentar