online degree programs

Sabtu, Juli 04, 2009

Ketika Slavoj Žižek Bicara Perang


Slavoj Žižek


Slavoj Žižek yang lahir pada 21 Maret 1949 di kota Ljubljana Slovenia adalah seorang Lacanian, Sosiologi Marxis, Psikoanalis, dan kritikus budaya. Ia mendapat doktor seni di bidang filsafat dari Universitas Ljubljana dan studi psikoanalisis di Universitas Paris VIII dengan bimbingan Jacques Miller dan Francois Regnault. Semenjak 2005, Slavoj Žižek menjadi anggota Slovenian Academy of Sciences and Arts. Žižek mengetahui dengan baik dalam menggunakan pemikiran psikoanalis abad 20 Prancis Jacques Lacan dalam membaca perkembangan kebudayaan kontemporer. Žižek juga menulis banyak topik budaya populer yang di bahas, beberapa di antaranya perang irak, fundamentalisme, kapitalisme, toleransi, koreksi politik, globalisasi, post-Marxisme, Lenin, human right, subjektivitas, dunia cyber, postmodernisme, multikulturalisme, dst. Žižek mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai seorang Marxis dan komunis.

Slavoj Žižek inilah yang berusaha menghidupkan kembali optimisme di tengah-tengah kematian subjek semenjak era sains dan postmodern. Ketika positivistik menggiring pengetahuan manusia harus eksakuantitatif dan posmodern menempatkan manusia dalam dunia simulakrum. Maka Žižek yang berusaha merajut kemanusiaan manusia dengan mengembalikan subjek.

Berpegang pada subjek a la Cartesian yang di hajar habis oleh rumpun pemikiran postrulturalis dan atau posmodern. Cogito ergo sum, di susun kembali dengan menggunakan terminologi Lacan. Perangkat peralatan pemikiran Lacan mulai dari tahan cermin (the mirror stage), yang simbol (the symbolic), yang imajiner (the imaginary), dan yang real (the real), di rakit oleh Žižek dengan cukup baik.

Setelah mengantarkan secara biografis singkat Žižek. Mari kita bertamasya di pemikiran Žižek sekarang! Kita akan mempelajari bagaimana Žižek melihat ”perang” sebagai sebuah topik budaya populer.

Ketika Donald Rumsfeld menjebloskan pejuang Taliban ke dalam penjara (sebagai pelaku tindak pidana perang), dia tidak hanya memaksudkan bahwa tindakan kriminal yang berbentuk aktivitas teroris itu bertentangan dengan hukum mereka: ketika seorang berkewarganegaraan Amerika melakukan tindakan kriminal, peristiwa serius berupa pembunuhan berat, dia masih tidak di anggap melawan hukum. Perbedaan antara tindakan kriminal dan tindakan yang tidak kriminal tidak memiliki relasi seperti antara penegakan hukum warga dan masyarakat di Prancis dalam the Sans Papiers. Barangkali kategori homo sacer menggunakan pemikiran Giorgio Agamben dalam Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life (1998) sangat berguna di sini.

Hukum yang tidak netral dan bebas nilai ini mengalami penguatan oleh pemikiran Žižek. Hukum ternyata memihak kebangsaan dan kewarganegaraan. Hukum memiliki tendensi kepentingan tertentu. Pelaku teroris barangkali lebih bermartabat dari sekadar pembunuh bayaran ataupun psikopat sekalipun. Mereka memiliki pengorbanan dan ideologisasi yang terpatron dalam benak mereka sendiri. Meraka menjalankan misinya bukan atas kepentingan praktis dan komersil, melainkan menjalankan pandangan subjektif yang mendalam, meski nyawa taruhannya. Meski tindakan pengrusakan dan pembunuhan teroris juga tidak bisa dibenarkan. Tetapi ada sisi positif yang bisa kita lihat. Hal ini juga membuktikan bahwa hukum selalu memihak kubu, kelompok, dan kepentingan tertentu.

Pemikiran ini di angkat dari hukum Romawi masa lalu (the ancient Roman law) seseorang yang dapat dibunuh tanpa mendapat hukuman dan siapa yang diharuskan mati, untuk alasan yang sama, tidak dilihat nilai pengorbanannya sama sekali. Hari ini, sebagai keterpurukan penandaan masa, hal ini dapat nampak dalam menerapkan hukum tidak hanya pada teroris, tapi juga berada di atas dahan gelap akhir sebuah humanisme, Rwandans, afghans), mungkin seperi halnya the Ans Papiers di Prancis dan masyarakat setempat di favelas Brazil atau keturunan Amerika-Afrika di Amerika.

Dalam penegakan hukum internasional nampak kelihatan, supremasi hukum (rule of law) sudah runtuh total. Hukum internasional sudah tidak ada lagi. Ia hanya medium imperialisme bagi kepentingan negara-negara maju untuk melakukan imperialisasi, agresi dan ekspansi-nya. Hal ini nampak ketika Jerman kalah perang. Salah satu jenderal Jerman yang di adili dalam mahkamah internasional (criminal court) melakukan protes. Ia berkata ”benar, kali ini saja di adili sebagai penjahat perang, ya, karena kami (Jerman) kalah perang. Coba kalau saja kalian (sekutu) kalah perang, pasti kalian (sekutu) yang akan kami adili dalam mahkamah ini sebagai penjahat perang”.

Perkemahan konsentrasi militer dan perkemahan pengungsi atas nama kemanusiaan sebenarnya, sebuah paradoksal, dua wajah, inhumanis dan humanis, dalam sebuah matrik sosiologis. Berbicara tentang zaman perang dunia kedua di mana perkemahan militer Jerman yang ada saat menduduki Polandia, sebuah artikel Erhardt berjudul ”Concentration Camp” (dalam Lubitsch’s To Be or Not to Be) mengataka kembali: kami mengkosentrasikan dan menjaga daerah pendudukan dengan perkemahan ini. Satu pembedaan serupa berlaku bagi kebangkrutan Enron, di mana dapat dilihat sebagai argumentasi yang ironis berbasis pemikiran ”resiko atau ketakutan” dalam masyarakat.

Ribuan pekerja kehilangan perkerjaannya dan menyelamatkan dari kepastian resiko kehilangan harta, tapi tanpa memiliki pilihan yang sesungguhnya (without having any real choice): apakah resiko nasib itu diketahui secara buta oleh mereka. Semua merasakan resiko itu, apalagi pemimpin tertinggi mereka, ikut terlibat dalam mengitervensi dalam situasi ini, tapi pilihan pengganti untuk meminimalisasi resiko untuk diri mereka sediri dengan penyediaan kebutuhan mereka tidak diikuti dengan pilihan yang bersal dari hak suara mereka sendiri sebelum kehancuran akibat perang terjadi—resiko yang nyata dan pilihan tetap harus didistribusikan. Di dalam masyarakat yang ketakutan, dengan kata lain, pemimpin tetap memiliki pilihan, sementara yang lain tetap membawa bahaya.

Logika homo sacer dengan jelas dapat mengidentifikasi jalan media barat melaporkan pendudukan Negara Barat: ketika angkatan perang israel, di tubuh bangsa Israel itu sendiri melaksanakan operasi militer, untuk menyerang polisi Palestina dan menyusun penghancuran sistematis infrastruktur Palestina, propaganda yang di jalankan saat itu adalah perang melawan teroris. Paradoksal ini adalah alasan besar yang di goreskan atas ”perang melawan terorisme—sebuah pertarungan dalam medan perang yang mana musuh di katakan jahat karena melindungi dirinya sendiri dan kembali mengobarkan semangat api (returns fire with fire). Membaca kembali pejuang yang melawan hukum (unlawful combatant) siapa yang bukanlah serdadu musuh, yang tidak juga pelaku tindak pidana biasa. Jaringan teroris Al-Qaeda bukanlah serdadu musuh, tidak juga pelaku tindak pidana biasa—Amerika mengklaim biang kerok di balik serangan WTC. Singkatnya, apa yang muncul pada Terorisme samaran, kepada siapa peperangan di umumkan, semuanya adalah strategi untuk memunculkan musuh bersama dalam arena politik internasional (the political Enemy excluded from the political arena).

Hal ini adalah aspek lain dari kepentingan global baru. Kita tidak melihat perang dengan mekanisme lama yang bermula dari sebuah konflik diantara kedaulatan negara di mana kententuan hukum berlaku—.peraturan perundang-undangan dapat menjaga ketertiban atas nama negara, negara dapat memenjarakan narapidana dan memaksa dengan menggunakan senjata. Dua tipe konflik yang tersisa adalah pertama, pertarungan antara kelompok homo sacer —etnik—konflik keagamaan, pelanggaran hak asasi manusia universal, tak terhitung korban sesudah perang, dan memanggil diri ”polisi kemanusiaan” yang mengitervensi melalui kekuatan barat—dan mengarahkan kewenangan gempuran atau agresi langsung dari Amerika dan kekuatan lain dari kepentingan global baru. Di mana kasus, lagi, kita tidak mempunyai kekuatan peperangan yang seimbang, tapi sekadar perjuangan melawan hukum (unlawful combatans) terhadap kekuatan kepentingan universal ini. Kedua, sesuatu tidak dapat bahkan membayangkan satu organisasi berperikemanusiaan netral seperti Palang Merah menengahi di antara peperangan berbagai pihak, mengorganisir satu pertukaran narapidana dan seterusnya, karena satu realitas dalam peperangan atau konflik dunia, Amerika memiliki dominasi kekuatan global (dominated global force) yang telah di asumsikan berperan besar dalam organisasi Palang Merah, satu sisi ikut melancarkan aksi imperialisme dalam peperangan, tapi juga sebagai juru mediasi mengatas-namakan agen perdamaian dan kepentingan dunia, menghancurkan pemberontakan dan secara bersamaan meyediakan bantuan kemanusiaan ke masyarakat lokal.
Organisasi kemanusiaan sekalipun, seperti Palang Merah, patut dikritisi sebagai sebuah institusi yang rawan pengaruh. Netralitas di dunia ini tidak mungkin. Keberpihakan selalu muncul. Entah itu Palang Merah yang menolong korban yang diprioritaskan kubu tertentu atau bahkan menjadi spionase pihak-pihak bersengketa. Spionase bagi Palang Merah ini sangat mungkin terjadi, mengingat, keberadaan relawan Palang Merah berasa di mana-mana saat perang terjadi. Ia mungkin saja mengeruk informasi dan mendistribusikannya, serta menyalah gunakan informasi itu.

Tragedi kemanusiaan paling berat terjadi dalam peperangan. Pihak-pihak yang berlawanan yang berhadap-hadapan tak mungkin saling memikirkan rasa sakit yang di derita oleh lawan jika terkena hantaman peluru. Apalagi sampai memikirkan bila terjadi apa-apa dengan lawan, bagaimana keluarga yang bersangkutan. Sialnya, perang saat ini telah terbungkus dengan kain media dan politik internasional yang halus. Amerika menginginkan perang dan kolonialisasi terlebih dahulu ”membuat” terorisme.

Anehnya dalam hal ini “kebetulan kebalikan (coincidence of opposites)” pada capaian puncak, Harald Nesvik, satu anggota fraksi sayap kanan dari Dewan Perwakilan Rakyat Norwegia, mengajukan George W. Bush dan Tony Blair sebagai kandidat peraih nobel perdamaian agung (the nobel peace prize), menghargai peran besar mereka dalam perang melawan teroris (war on terror). Dengan demikian kata mutiara Orwellian ”Peperangan adalah damai” (War is Peace) akhirnya menjadi realitas, dan aksi militer semakin menggila pejuang Taliban dapat dijadikan sebagai satu cara untuk pengiriman bantuan keselamatan atas nama kemanusiaan (yang tentunya sangat tendensius). Kita tidak lagi memiliki perlawanan antara perang dan humanisme: intervensi yang sama dapat berfungsi di keduanya taraf secara serempak. Runtuhnya rejim Taliban disajikan seolah-olah sebagai lahan strategi untuk menolong masyarakat Afghanistan dari tekanan Taliban; seperti yang di katakan Tony Blair, kita mungkin harus mem-bom bardir Taliban agar mengamankan angkutan makanan dan distribusi. Barangkali ultimatum ini dapat dibayangkan oleh masyarakat lokal sebagai homo sacer bahwa peperangan oleh pesawat terbang Amerika di atas Afghanistan: sesuatu yang tidak pernah dipastikan apakah akan menjatuhkan bom atau parsel makanan.

Konsep homo sacer ini menyediakan kita untuk mengetahui banyaknya somasi guna memikirkan ulang dasar dugaan terkini dari derajat manusia dan “kebebasan” yang telah di keluarkan semenjak 11 September. Patut diperlihatkan di sini adalah Jonathan menulis dalam Newsweek artikel dengan judul “Waktu untuk Memikirkan Penyiksaan (Time to Think about Torture)” (5 November 2001), dengan subjudul tidak menyenangkan “It’s a new world, and survival may well require old techniques that seemed out of the question”. Setelah tergoda dengan ide Israil memberikan legitimasi penyiksaan fisik dan psikologis yang di anggap sebagai urgensi yang ekstrem (ketika kita mengetahui satu narapidana teroris menguasai keterangan yang mungkin bisa menyelamatkan ratusan kehidupan), dan pendapat yang “netral” seperti “Beberapa Penyiksaan yang Jelas Bekerja (Some torture clearly works)” yang menyebutkan : kita tidak dapat melegitimasi penyiksaan, ini bukan nilai-nilai filosofis Amerika. Bahkan kita berada dalam jalan berlawanan dengan perlindungan hak asasi manusia di seluruh dunia, kita perlu mempertahankan satu pemikiran yang terbuka untuk memperangi terorisme, seperti sanksi pidana yang menghukum dan menginterograsi secara psikis (court-sanctioned psychological interrogation). Dan kita harus mengirim beberapa tersangka untuk Amerika mengurangi musuh, sekalipun bermuka dua.


Bersambung…………….

Awaludin Marwan, biasa di panggil Luluk, pegiat Embun Pagi

9 komentar:

Anonim mengatakan...

Baru saja kemarin nulis liberalis, Mises, Hayek, dkk. Sekarang, nulis Marx. Dasar gak konsisten.......

Giy mengatakan...

Namanya aja lagi belajar menulis...

Anonim mengatakan...

Pernyataan Giy mendua arti : membela, atau permintaan pemakluman. Hahah...

Membela dengan cara meminta maklum,
yoG

Imam Semar mengatakan...

Kebenaran tidak hanya ada dalam suatu isme yang bertentengan karena pada satu isme ada banyak aspek.

Saya bukan komunis bahkan dalam aspek ekonomi cenderung untuk liberal, tetapi tulisan ini (masalah perang dan tipu-menipu oleh para politikus) masuk akal.....

luluk mengatakan...

Makasih pakimam....
Mas Giy nyindir, mas Yogas melancarkan politik adu-domba.
Isme itu memang multiperspektif....

Budaya Pop mengatakan...

... ”perang” sebagai sebuah topik budaya populer...
Penjelasan Anda di bawah malah membuat saya bingung karena tidak ada indikator-indikator bahwa perang yang dimaksud ada korelasinya dengan budaya populer.

luluk mengatakan...

Budaya populer tidak memiliki definisi tunggal. Dalam konteks ini saya lebih memaknai bahwa perang dewasa ini menjadi tradisi dengan mekanisme baru. Perang melawan terorisme mengandung banyak tafsir. Secara kritis, diktum ini berkaitan dengan kepentingan "barat", yakni, Amerika yang haus perang.

atiqah nur ghaziyah mengatakan...

berdasarkan berbagai sumber yang saya baca,, sebenarnya perang melawan terorisme sama dengan perang melawan islam, jelas dalam pidato bush warn on terorism = warn on islam, jadi itu sebenarnya yang sedang dilancarkan oleh AS cs kepada ummat islam. kita bisa lihat dalam kasus pengeboman beberapa bulan yang lalu yang terjadi di 2 hotel bertaraf internasional Hirtz cartlon and j. w marion.., disitu sangat jelas ada konspirasi global dalam memerangi ummat islam...padahal pada malam haridi ada 130 anggota CIA yang nginap di hotel tsbt dan banyak pengusaha yang mengadakan pertemuan/rapat tertutup di hotel tsbt, pertanyaanya adalah mengapa bisa sampai pengeboman terjadi di depan hotel tsbt?? apakah para satpam tidak melakukan pengawasan dengan keta?? padahl htl seperti itu biar paku bisa dilacak keberadaannya sebelum memasuki htl tsbt,jd knp bisa sampe lolos??!!tapi sayang tak satupun mediamasa yang mempublikasikan keberadaan CIA tsbt!!! jadi perang melawan teroris = perang melawan islam!!!! kenapa ketika bush cs memerangi ummat islam yg berada di negri2 muslim tidak dikatakan teroris???? sungguh konspirasi global..

Anonim mengatakan...

Good fill someone in on and this fill someone in on helped me alot in my college assignement. Say thank you you on your information.