Lebih kurang satu minggu yang lalu, ada dua media massa cetak nasional yang merayakan ulang tahunnya : lebih tepatnya merayakan peringatan hari terbit pertama, karena sulit mendefinisi hari “lahir” sebuah koran. Salah satu media massa tersebut, yaitu Kompas yang sedang “berulang tahun” ke empat puluh empat, menurunkan satu artikel menarik tentang prospek media massa di masa datang, selain sebuah artikel mengenai komentar beberapa pembaca Kompas yang mewakili berbagai golongan dan generasi.
Tetapi ternyata lambat laun, seiring dengan semakin mudahnya pengaksesan internet, laju pertumbuhan pembaca surat kabar online ini tumbuh dengan pesat sehingga menimbulkan kekhawatiran memerapa pihak. Dikhawatirkan, suatu saat koran dan majalah tidak perlu lagi dicetak seperti sekarang ini, tapi cukup direlease secara digital saja, sehingga tidak perlu mesin cetak, tak prlu lagi bahan baku kertas dan tinta, tidak perlu lagi tenaga kerja pencetakan dan distribusi serta pemasaran yang selama hampir satu abad ini menjadi mata rantai perjalanan surat kabar ke tangan pembaca. Amerika Serikat, yang sedang lumayan mumet mengenai gejolak ekonomi dan tingginya tingkat pengangguran, semakin ngeper dengan fenomena ini. Bisa dibayangkan berapa jumlah tenaga kerja yang akan kehilangan tugasnya jika betul-betul hal ini terjadi.
Namun, beberapa pengamat juga memberikan pendapat lain. Mereka mengatakan bahwa perubahan ini tak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Pertama, karena mungkin ini akan memerlukan waktu yang masih cukup lama sehingga masih ada jeda untuk antisipasi. Kedua, tidak akan mudah begitu saja mengubah budaya format baca dari kertas menuju layar optik. Ketiga, jika benar-benar hal ini terjadi, maka itu berarti masyarakat bisa mengakses internet dengan sangat mudah dan mampu membeli perangkatnya, yang artinya finansial sebagian warga Amerika Serikat sudah pulih seperti sediakala.
Begitu setidaknya di Amerika Serikat. Lalu, bagaimana di Indonesia?
Tentu saja keadaannya berbeda. Pertama, jelas, internet bukan hal mudah dan murah di Indonesia. Pula gadget untuk mendapat edisi digital bukan pula dalam jangkauan masyarakat secara umum. Kedua, televisi masih menjadi musuh utama media cetak. Kecenderungan melihat dan mendengarkan lewat media elektronik masih lebih disukai ketimbang membaca. Dan ketiga, hahah..., minat untuk membaca memang masih rendah karena faktor ekonomi, mindset dan budaya. Membaca belum menjadi budaya, apalagi untuk menjadi kebutuhan. Slogan dan kampanye untuk itu sih sudah, tapi greng-nya masih terlihat samar-samar. Beberapa hal tersebut paling tidak menjadi alasan mengapa media cetak di Indonesia tak (belum) perlu khawatir tentang maraknya media dalam bentuk online. Justru, mungkin kini saat yang tepat bagi media cetak untuk menggiatkan format baru dalam bentuk online yang telah dirintis oleh beberapa media besar. Masyarakat kota besar yang sudah tak awam dengan internet, mahasiswa dan pelajar akan menjadi aksesor format ini. Sedangkan untuk masyarakat umum, pasar untuk media cetak dalam format cetakan masih suangat-suangat luas.
Tantangan media cetak Indonesia masa ini dan masa depan adalah bagaimana menggeser hegemoni televisi yang masih menjadi raja dalam sebaran informasi dan menyajikan berita yang akurat, objektif dan dapat di percaya publik. Maka peran media (cetak dan elektronik) saat ini yang masih menjadi tumpuan sumber opini masyarakat bisa menjadi lebih baik di masa datang.
Yog.
1 komentar:
joker-joker .....
on television, in newspapers, on radio ....
dangerous ....!!!!
Posting Komentar