online degree programs

Selasa, Juli 07, 2009

Lunch with Daoed Joesoef


Setelah orasi budaya dan dilanjutkan diskusi dengan para peserta diskusi, saya diajak ikut makan siang oleh Pak Darmaningtyas dengan Pak Daoed Joesoef bersama dua kawan lainnya. Hari ini (Selasa, 7/7/09) saya dibuat terkagum-kagum oleh orasi budaya Prof. Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Seoharto. Betul juga apa kata Prof. H.A.R. Tilaar yang turut hadir dalam perhelatan tersebut, bahwa setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, hanya ada dua menteri pendidikan yang memiliki visi pendidikan yang jelas, yaitu Ki Hadjar Dewantara dan Daoed Joesoef. Dengan usia 83 tahun tapi masih fit untuk naik lantai 11 gedung Kodel, Kuningan, suaranya pun masih lantang, memorinya masih tajam, hingga membuat kami –terutama saya yang baru kali ini bertemu beliau- merasa sungkan untuk tidak mencermati kata demi kata yang meluncur fasih darinya. Dengan sesekali berbahasa Prancis –maklum ia lulusan Sorbonne, Prancis- diuraikannya secara gamblang mengenai perlunya nilai dan kebudayaan dalam pendidikan. Daoed Joesoef yang secara akademik berlatar ekonomi, di Sorbonne pun mengambil ekonomi, namun dari seluruh karirnya ia menyatakan tidak pernah bekerja di luar bidang pendidikan. Pengetahuan kebudayaan yang diperolehnya dari Sorbonne –karena ditanya Rektor Sorbonne apakah ia hanya akan belajar ekonomi, Pak Daoed menjawab tidak, tapi ingin belajar kebudayaan. Beliau menyatakan kalau ingin belajar budaya, maka belajarlah ke Prancis, kalau belajar kebudayaan di Prancis datanglah ke Paris, kalau belajar kebudayan di Paris, belajarlah di Sorbonne- agaknya memang telah menjadikan pemahamannya mengenai pendidikan dan kebudayaan sangat luas dan dalam.

“Education is a part of culture”, katanya, “..and culture is about value”. Dengan begitu secara institusional, kebudayaan mesti disandingkan kembali dalam satu departemen, yakni departemen pendidikan dan kebudayaan. Sekarang dilepasnya kebudayaan dari pendidikan pada level institusi telah menimbulkan hilangnya pegangan apa yang diberikan kepada siswa. Daoed Joesoef menyatakan bahwa memang siswa diberikan pelajaran, tapi untuk apa tidak jelas, dalam konteks dan fondasi apa tidak jelas. Sedangkan menurutnya, pendidikan mesti diarahkan pada konteks sosial, yang dalam bahasanya Ki Hadjar adalah proses pembudayaan. Beliau juga mengkritik nama Departemen Pendidikan Nasional –kata “nasional”- namun ternyata kebijakan yang dikeluarkan tidak menjunjung tinggi nasionalisme. Tamansiswa pun tak luput dari kritik, karena ia yang pada mula berdirinya sangat revolusioner, ternyata sekarang ini menjadi sangat konservatif. Sekadar bangga pada romantisme masa lalu, namun kehilangan kemampuan membaca konteks kekinian, yang tentu tantangannya sudah berbeda dibandingkan dengan apa yang dihadapi oleh Ki Hadjar dulu. Setelah memaparkan karut marut dunia pendidikan, beliau menariknya pada level yang lebih filosofis dengan mempertanyakan: apa yang disebut/namakan sebagai orang yang terdidik? Atau bagaimanakah orang terdidik itu? Bagaimana menjadikan orang terdidik? Apaka pendidikan itu? Apakah makna mencerdaskan kehidupan bangsa itu –yang menurut beliau banyak dimaknai sebagai sekadar mencerdaskan bangsa (tanpa “kehidupan”)? Tidak cukup itu, beliau menguraikan visi pendidikan Indonesia dalam 8 point –kali lain kalau ada kesempatan saya akan uraikan. Setelah itu tidak ketinggalan Prof. Tilaar turut menguraikan beberapa prasyarat yang mesti dipenuhi oleh menteri pendidikan mendatang.

Pukul 13.20 WIB, saya mengikuti dua pemikir pendidikan tersebut makan siang di lantai bawah Kodel. Pak Darmaningtyas pesan sop iga, dua kawan lagi pesan sop iga dan salad, Pak Daoed Joesoef pesan nasi goreng wings (dengan sayap ayam)…yang sayapun akhirnya ikut pesan nasi goreng wings hehe… (plus juice sirsak). Sebagai pendengar setia saya peroleh public lecture langka pada hari ini. Dengan Daoed Joesoef sebagai satu-satunya menteri pada masa Soeharto yang berani memperingatkan bisnis anak-anak Soeharto, berani pula mengkritik utang negara pada IMF, hingga menjadikannya tidak menjabat lagi sebagai menteri periode selanjutnya. Obrolan hangat pun mengalir. Pak Daoed bercerita dulu ketika hari pertama beliau menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ketika masuk kantor dinas menteri P & K beliau menlihat meja menteri luas dan bersih, ketika ditanya oleh staf:

“Apa yang Bapak perlukan?”.
Pak Daoed menjawab, “Saya butuh mesin ketik (manual)”.
“Buat apa Pak?” tanya staf lagi.
Pak Daoed jadi heran, “…ya buat ngetik dong”.
“Khan sudah ada sekretaris Pak..” kata staf.
Pak Daoed menjawab, “Sekretaris untuk bagian ngurus administrasi saja, saya mau ngetik naskah pidato dan yang lainnya”.
“Lho kan sudah ada staf yang membuatkan naskah pidato Pak. Jadi tinggal membacakan naskah saja kalau pidato”, ujar staf lagi.

Pak Daoed jadi heran dan mangkel di hati, jadi saya harus membaca naskah pidato yang dibuat oleh staf. Lalu melalui apa visi pendidikan yang sudah saya gagas saya paparkan kalau bukan lewat pidato yang saya tulis sendiri. Masak visi pendidikan yang buat tukang ketik naskah pidato? Hehehee… Mendengar cerita Pak Daoed itu saya jadi geli sendiri karena juga punya kawan yang tugasnya menjadi pembuat naskah pidato, namun bukan menteri, melainkan rektor, yang konon menurut pengakuannya sendiri sering bertentangan dengan hati nuraninya. Jadi, kalau Menteri Pendidikan –atau bahkan mungkin semua menteri- seperti itu (naskah pidato dibuatkan oleh orang lain) termasuk rektor-rektor juga seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa mereka –yang dibuatkan pidatonya itu- tidak memiliki visi pendidikan apa-apa. Saya mendadak terbersit kecurigaan, jangan-jangan semua visi pendidikan menteri pendidikan –selain Ki Hadjar dan Daoed Joesoef- dan para rektor itu, sebagaimana tertuang dalam pidato-pidato mereka, yang membuat adalah tukang ketik naskah pidato!!! Hwahahahaaa…

Tanpa terasa nasi goreng wings di depan saya udah habis, juga sop iga dan salad di sebelah, akhirnya kami hantarkan Prof. Daoed Joesoef bersama menuju mobilnya. Rasanya masih haus tenggorokan ini karena juice sirsak ternyata tak mampu menandingi es teh di warteg dekat kost saya, masih jauh juga saya dari level keilmuan guru-guru pendidikan saya, Prof. Daoed Joesoef, Prof. H.A.R. Tilaar, Prof. Soedijarto, Pak Darmaningtyas, Pak Jimmy Paat dll…… Dan saya masih terlalu sedikit membaca buku, terlalu sedikit menulis dengan tekun, dan terlalu banyak facebook-an hehehe…..

Salam,

Edi Subkhan, tukang kebun….

Tidak ada komentar: