online degree programs

Minggu, Juli 05, 2009

Jacques Lacan: Meraba Konsep Dasar Psikoanalisis Baru



Jacques Lacan lahir pada tanggal 13 April 1901 dan meninggal dunia 9 September 1981 adalah seorang psikoanalis dan psikiatris Prancis yang memiliki kontribusi besar dalam bagunan pemikiran filsafat, psikoanalisis dan kepustakaan teoritis. Lacan secara rutin memberikan seminar di Prancis dari tahun 1953 hingga 1981, hingga memiliki pengaruh yang begitu besar di kalangan intelektual Prancis saat itu, terutama bagi pemikiran filsafat aliran post-strukturalis. Lacan membaca Freud dengan baik, diktum kembali ke Freud (return of Freud) di kumandangkannya. Berpegang pada silsilah pemikiran psikoanalisis yang menekankan pada alam bawah sadar (unconscious mind), sampai mengakui ego ideal. Lacan membenturkan dengan korelasivitas studi bahasa, menggambarkannya juga dengan pemikiran kritis. Bagaimana fungsi bahasa dapat dilihat tidak hanya berbentuk instrumen komunikasi saja, melainkan memiliki relasi signifikan dengan ”aku (I)”. Ataupun sebaliknya, konsep ”aku (I)” tidak sekadar selesai pada tahap individual, tetapi juga mengakui (to recofnize) yang lain (the other) sebagai bagian yang ada (being).

Jacques Lacan lahir di Paris, anak sulung dari Emilie dan Alfred Lacan yang memiliki tiga anak. Ayahnya seorang saudagar perusahaan minyak dan sabun yang cukup sukses. Ibunya seorang penganut Katolik yang teguh. Pada mulanya acan sering menghadiri pertemuan politik organisasi sayap kanan Action Francaise yang di pimpin oleh Charles Maurras. Pertengahan 1920-an, Lacan merasa tidak tahan dengan tradisi keagamaan dan memiliki pendirian yang berseberangan dengan keluarganya.

Pada tahun 1920 itu juga ia gagal masuk akademi militer, dan dia langsung masuk sekolah medis. Akhirnya dia menjadi psiatris yang bertugas di rumah sakit Sainte-Anne di Paris. Ia mulai tertarik dengan filsafat Karl Jaspers dan Martin Heidegger, dan menghadiri seminar yang membahas Hegel yang hadir sebagai pembicara saat itu adaah Alexandre Kojeve. Beberapa waktu setelah itu, di tahun 1938, Lacan belajar serius psikoanalisis dengan Rudolf Loewenstein.

Perkenalan Lacan dengan psikoanalisis membuahkan sebuah tradisi intelektual yang menarik sepanjang zaman. Menekankan pada satu perhatian terhadap teks-teks orisinal Freud dan kritik radikal terhadap ego psikologis, Lacan berpikir bahwa Freud ada relasi yang kuat antara gagasan keseleo lidah, misalnya, dengan tradisi pemikiran Prancis kala itu, strukturalis. Bahwa bahasa itu menunjukan alam bawah (unconsciuus mind) seseorang. Dengan kata lain, kata-kata yang di ucapkan seseorang saat mengigau, lupa, keceplosan, semuanya itu merupakan ”tanda (signfied)” yang mencerminkan kondisi alam bawah sadar (unconsciuus mind). Lacan percaya bahwa susunan alam bawah sadar (unconsciuus mind) itu menyerupai struktur bahasa. Hla ini bukan menunjukan ruang arketipal dalam pikiran atau kepribadian yang terpisah dengan alam sadar (conscious). Ini masuk ego linguistik, meski komposisinya cukup komplek seperti alam bawah (unconscious) itu sendiri. Kendatipun demikian, jika benar klaim Lacan bahwa alam bawah sadar ((unconsciuus) memiliki struktur yang sama dengan bahasa, bagaimana dengan kondisi seseorang yang mengalami krisis identitas, trauma, dan sakit jiwa. Bagi mereka bahasa sudah tidak lagi bermakna, bahkan mungkin sebaliknya, satu kata bahasa bisa membuat kambuh.

Freud menyembuhkan Anna O dengan metode dialog. Bahasa yang di keluarkan oleh pasien di pahami sebagai simbol-simbol yang hendak ditangkap sebagai bahan penyembuhan. Simbol-simbol itu tidak berdiri sendiri, melainkan menyatu dengan pengalaman (experience of live man).

Setiap manusia memiliki pengalaman yang bervariasi. Yang membedakan orang satu dengan yang lain. Kontribusi Lacan menghubungkan psikoanalisis dengan logika linguistik cukup berharga. Pengalaman perkembangan manusia yang pada tahap-tahap tertentu pun di baca oleh Lacan. Misalnya saja, pengalaman saat seseorang masih dalam posisi bocah, yang hendak mengenali dirinya sendiri.

Pengalaman pada tahap ini disebut tahap cermin (le stade du miroir dalam bahasa Prancis jika bahasa Inggris the mirror stage) di jelaskan bahwa tahap di mana perkembangan dari fungsi ”Aku (I)” dalam tubuh manusia bekerja secara alamiah jika di potret melalui psikoanalisis (as formative of the function of the I as revealed in psychoanalytic experience). Umpamanya, pengujian yang di lakukan oleh sampel: seorang bocah manusia dan bayi simpanse. Keduanya di beri cermin atau kaca. Seorang bocah mengenali dirinya, mengidentifikasi, meneliti secara fisik, kemudian mengimajinasikan bentuk-bentuk dalam cermin itu, yan tidak lain adalah dirinya sendiri. Ia bisa berdandan, melihat dan mempelajari dirinya dan lingkungan sekitarnya. Sementara bayi simpanze hanya membuat kaca untuk bahan permainan. Ia tidak mengenali dirinya di dalam cermin. Berbeda dengan si bocah manusia. Tahap cermin setidaknya menandakan: pertama, eksistensi nilai historis sebagai trajektori titik balik dalam pembangunan mental anak. Dan, kedua, melambangkan sebuah hal penting tentang hubungan libidinal dengan citra-tubuh (the body-image).

Dalam La relation d'objet seminar ke empat. Lacan menegaskan bahwa tahap cermin ini berjauhan dengan fenomena utuh yang terjadi pada pembangunan mental anak. Hal ini mengilustrasikan konflik alamiah di antara dua hubungan: antara nilai historis (historical value) dan logika simbolik (structural value).

Tahap cermin ini mendeskripsikan komposisi Ego dalam proses objektifikasi. Ego merupakan hasil akhir dari perselisihan rasa antara suatu rasa penampilan (one's perceived visual appearance) dan rasa emosional atas realitas (one's perceived emotional reality). Lacan menyebutnya bagian ini sebagai alienasi atau pengasingan (alienation). Di enam bulan bertama bayi kekurangan keseimbangan fisik. Setelah itu ia dapat mengenali dirinya sendiri dalam tahap cermin dengan mngontrol dan mengkoordinasi gerakan tubuhnya. Cermin dalam kategori Lacan dapat di pahami secara metafor maupun empiris. Ketika seorang bocah dihadapkan dengan cermin, penampilan yang kontras di dalam cermin yang menggambarkan anak, mulanya, di pandang sebagai sebuah persaingan/ lawan/ musuh (rivalry). Tahap cermin memberikan tegangan agresif (aggressive tension) antara subjek dengan citra (image). Untuk memecahkan tegangan agresif ini, subjek mengidentifikasi citra: identifikasi primer ini yang kemudian membentuk Ego. Identifikasi ini juga melibatkan ego ideal yang memiliki fungsi sebagai bentuk-bentuk keinginan berikut antisipasi Ego atas kepentingan yang akan datang. Ego ideal menjanjikan seorang subjek mencapai keinginannya melalui proses imitasi, peniruan, dan penjiplakan bapak/ ibu-nya atau tokoh idaman.

Itulah paparan singkat konsepsi tahap cermin Lacan. Memang, psikoanalisis yang di rekonstruksikan oleh Lacan memang berbeda dengan Freud. Kalaupun Lacan mengambil perangkat keras dalam pemikirannya. Lacan masih berada dalam Freudian ketimbang pada ranah aliran filsafat yang lain. Keberadaan pemikiran Lacan menyempurnakan psikoanalisis Freud. Misalnya saja, tentang konsep tentang ”yang lain (the other)” yang juga di bangun oleh Lacan yang mengklasifikasikan kedalam dua term: ”yang lain kecil (the little other atau juga sering disebut saja dengan the other)” dan ”yang lain besar” (the Big other).

Yang lain kecil (the little other) pada umumnya di pahami sebagai perlakuan terhadap eksistensi orang lain selain subjek sendiri. Namun, ada juga yang memahami bahwa yang lain kecil (the little other) ini sebagai “yang lain yang tidak terlalu lain” (the other who is not really other). Yang lain kecil (the little other) ini merupakan sebuah refleksi dan proyeksi atas Ego. Ia seolah-olah mencerminkan orang lain yang sebenarnya merupakan hasil dari konstruksi nilai subjektif “Aku (I)”.

Sedangkan, yang lain besar (the Big other) adalah semua yang berada di dunia nyata yang memiliki kekuatan-kekuatan yang bisa mengendalikan tubuh secara fisik. Ia bisa berbentuk bahasa dan jauh lebih kongkret, seperti halnya “hukum” atau pun institusi ”Negara”. The Big other ini-lah yang memediasi di antara subjek melalui simbol-simbol-nya (mediates the relationship with that other subject).

Begitulah psikoanalisis secara sederhana di lihat dalam konteks pemikiran Lacan. Kendatipun demikian, kita tetap menghadapkan secara diametral, kritik terhadap pemikiran Lacan yang juga banyak di sematkan oleh kalangan feminis. Karena Oedipus Complex Lacan satu sisi menjadi inspirasi bagi gerakan feminis, di sisi lain, sebuah pernyataan yang memojokan dan mematikan pengarus utamaan gender. Kritik lain, misalnya, Lacan tidak membicarakan tentang konsep “kuasa” atau power sehingga dari Lacanian-lah kita mendapatkan pemikiran Lacan yang di benturkan dengan politik atau hukum. Lacanian, seperti Jacques Miller, Slavoj Zizek, Yannis Stavrakakis, dst, sangat di harapkan menyempurnakan gagasan Lacan ini.



Awaludin Marwan alias Luluk seorangLacanian

Tidak ada komentar: