Saya membayangkan mengikuti sebuah rapat. Rapat penyusunan Undang-undang sebuah pemilihan Umum di Indonesia. Memang saya kurang benar tahu, rapat itu diadakan di gedung jamur payung beratap hijau itu, oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ataupun oleh Komisi Pemilihan Umum KPU), di suatu Hotel yang tentu bukan sekelas hotel-hotel Bandungan yang konon ramai disambangi mahasiswa Unnes di malam Minggu. Atau bisa juga rapat itu dilaksanakan oleh KPU, dan kemudian disahkan oleh DPR. Maka, dengan demikian, baik penyewaan hotel maupun gedung jamur itu tidaklah mubazir.
Jika memang benar demikian, maka saya pun menjadi senang, karena membayangkan sesuatu yang nyaman. Tidak ada udara panas berhawa pengap. Tidak ada makanan tak bergizi apalagi yang basi. Ada kopi, ada teh wangi dan hangat, ada banyak hal lain. Ada juga remote segala urusan. Bentuknya seperti handphone, mempunyai chip kecil di dalamnya, yang kadang perlu di top up isinya. Sepertinya remote segala urusan sama dengan handphone (rumus menggunakan fungsi matematis assosiatif: remote segala urusan = handphone, handphone + remote segala urusan.).
Rapat itu direncanakan khusus untuk menyambut Pemilu, meliputi pemilihan anggota dewan dan presiden.
Saya, yang baru dua kali mengikuti pemilu (pemilu kemarin dan pemilu kabupaten), baru bias melihat beberapa kali pemilu sebelum 2009 ini, properti yang selalu tersedia adalah sebuah bilik seperti kakus umum, di dalamnya terdapat semacam meja, dan sebuah paku besar yang terlilit oleh tali jahit kasur. Barangkali agar paku itu tidak hilang ; agar tidak terjadi sabotase.
Pemilu kali kemarin, saya tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap. Saya berangkat ke TPS, dan mengikuti kontes origami massal itu. Saya menyesal, karena tidak membawa secangkir kopi dan beberapa sigaret untuk menemani selama membolak-balik lembaran kertas mirip koran itu.
Saya bayangkan dalam rapat pembahasan konversi coblos ke contreng itu, terlepas dari kelucuan-kelucuan yang saya dapati--karena lebih karena saya yang gagap atas sesuatu yang baru. Suatu ketika, dalam suatu rapat di dalam gedung ber-AC, dengan mikrofon di depan mulut masing-masing (riuh kecil akan menjadi gaduh berlipat kali), seseorang mengusulkan--sebenarnya dengan iseng--untuk mengubah coblos menjad contreng. Dia mengungkapkan argumen bahwa "coblos" sangat memberikan kesan bias gender, primitif, terkesan sadis, dan membahayakan bagi pemilih. Selesai berbicara ia menyeruput salah satu dari tiga gelas yang tersaji di depannya, kemudian mencomot lemper isi sirip hiu presto.
Beberapa kontestan rapat bertepuk tangan.
Satu orang di seberang terlihat gerah. Paras mukanya seperti masih berusia 30-an tahun. Namun ketika KTPnya terjatuh beberapa hari lalu, tertulis Ibu ini lahir pada tahun 1950. Konon lima orang dokter berkolaborasi, featuring seorang ahli kosmetik, untuk berkarya di atas kanvas "pasuryan" Ibu itu.
Dengan sedikit berurat leher, dia mangatakan bahwa coblos memang bisa dimaknai demikian--seperti yang dikatakan salah seorang di atas--namun hanya dengan coblos lah, potensi pertikaian, perselisihan dan keributan akibat kurang jelasnya penandaan bisa ditekan. Bayangkan, katanya, jika seseorang iseng membuat sebuah tanda contreng yang berukuran jumbo, memenuhi kertas suara? Atau bayangkan jika ada orang makar yang menggambar palu-arit di kertas suara?
Beberapa orang lain kembali bertepuk tangan. Sedikit lebih riuh.
Memang demikian suasananya. Dalam banyak rapat, kebanyakan hanya ada dua kutub yang sangat bertolak belakang. masing-masing kutub dihuni oleh satu orang. Selain yang tidak di dalam kutub, terlihat bermain ular-ularan dalam handphone (atau remote segala urusan), sembari sesekali bertepuk tangan jika yang lain bertepuk tangan.
Kemudian kita tahu, coblos telah ter-konversi menjadi contreng. Artinya, si orang pertama menang dalam perdebatan melawan Ibu-ibu yang terllihat muda. Entah di hari berikutnya ada bingkisan di dalam kotak pos Si Ibu terlihat muda, entah tidak.
Jumat, Mei 01, 2009
Coblos -> Contreng
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar