Dalam suatu ketika saya dihimbau, dengan keras, “Anda ini masih berada dalam sebuah sistem!”. Kemudian saya bertanya-tanya, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan sistem?
Barangkali sistem adalah tatanan. Bisa jadi sistem adalah sekelompok sesuatu, atau mungkin juga adalah seperangkat benda-benda (baik terlihat maupun tak terlihat, termasuk juga manusia) yang membentuk satu kesatuan tatanan, yang secara aktif mengusahakan penataan atas anasir-anasir yang dicakupi oleh sistem tersebut, dengan cara-cara tertentu, yang terkadang memang harus bersifat imperatif.
Sejauh berkaitan dengan manusia, maka sistem bersifat autopoieses, yang secara harfiah mampu membentuk dirinya sendiri. Sistem autopoietik ini adalah mekanisme ”metabolisme” melalui penyusunan dirinya sendiri serta menyaring keluar masuknya berbagai pengaruh secara selektif. Dengan cara demikian, sistem mengalami perubahan secara struktural secara berkesinambungan, seraya mempertahankan pola-pola yang mirip dengan sebelumnya. Dan juga, manusia tak bisa lepas dari sistem. Karena bahkan seorang dirinya pun adalah sebuah sistem.
Sosok yang memberikan himbauan kepada saya, yang berada dalam suatu sistem tertentu, berbicara atas nama sistem—secara kebetulan melingkupi kami berdua. Sebuah sistem yang juga melingkupi pembaca sekalian, meskipun dengan ”kelas” dengan setiap diferensiasi dan kewenangan yang berbeda ; sistem pendidikan.
Sosok tersebut, telah terlanjur memberikan himbauan dengan keras, dengan atas nama sistem. Tetapi, sebenarnya, bisakah sebuah sistem dijalankan dengan logika representasi, bahwa satu anasir dalam sebuah sistem berkata dan memvonis sesuatu dan seolah-olah dengan demikian sistem telah terwakili (oleh dirinya) secara representatif? Apakah dengan demikian, kata dan vonis yang diberikan adalah yang dari sistem secara keseluruhan dan bukan kata dan vonis dari seorang individu yang secara kebetulan bagian dari sistem?
Sebagai contoh sederhana. ”Ilmiah” adalah satu istilah yang ditelurkan, dan menjadi wajib, dalam sistem pendidikan. Tetapi ”ilmiah” itu sendiri mempunyai pemaknaan dan pemahaman yang begitu beragam. Di satu sisi, ilmiah dipahami sebagai suatu prosedur, yang jika semua prosedur itu telah ditaati, maka sebutan ”ilmiah” sudah layak disematkan. Ilmiah menjadi sama dengan prosedur. Ilmiah prosedural. Di sisi lain, ilmiah berarti rasional, sesuai dengan rasio yang berlaku di bidangnya masing-masing. Di sisi lain lagi, ilmiah adalah merupakan suatu sikap, bukan hanya ucap. Di sisi lain lagi, ilmiah adalah obyektivitas, dan kita akan bertemu lagi dengan keragaman pemahaman mengenai obyektivitas sehingga akan beragam lagi bagaimana cara mencapainya.
Jika dikembalikan kepada pernyataan dalam tanda kutip di atas, maka pernyataan “Anda ini masih berada dalam sebuah sistem!”, adalah suatu pernyataan yang paradoksal dan mengandung kontradiksi dalam dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, menyiratkan sebuah ketidakfahaman (atas sistem) yang fatal. Karena, yang pertama, berkait pemaknaan sistem yang beragam. Menyikapi hal tersebut, memaksakan tafsir tunggal dalam sebuah sistem, adalah menyalahi logika sistem itu sendiri, sehingga bentuk dan sikap semacam ini tidak bisa dikatkan ”ilmiah”.
Yang kedua, bermula dari postulat bahwa manusia tidak bisa lepas dan bebas dari sistem, karena bahkan dirinya pun juga sebuah sistem. Dengan demikian, sejauh apapun yang dilakukan oleh manusia, tetaplah berada di dalam sistem dan terlingkupi oleh sistem. Manusia hanya bisa ber-laku atas pemahamannya terhadap sistem tersebut. Manusia tidak bisa bebas. Di sini, yang berperan adalah kebersediaannya untuk membuka pemahaman ”yang lain” dan ”yang tak terduga”, sehingga bersedia berkonsensus karenanya.
Mengingat hari-hari ini di Indonesia, dengan sistem pemerintahan demokrasi, keterhubungannya dengan pemilu, dan tetek bengek prosedural lainnya, di suatu masa ketika kesediaan dan keberanian untuk mendekonstruksi-diri belum lagi disadari. Saya sebut fenomena itu “sistemophobia”.
Salam kebangkitan bangsa.
Ahmad Fahmi Mubarok
Psikologi FIP UNNES.
Pegiat Komunitas Embun Pagi, Semarang.
Kamis, Mei 21, 2009
Sistemophobia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
9 komentar:
Dekonstruksi dilakukan jika konstruksi yang ada memang ndak tepat. Apabila masih relevan ya jangan sedikit2 dekonstruksi... Tp kalo generasi yg sukanya selalu mendekonstruksi ada, mendekonstruksi kebijakan pemerintah tanpa memandang prinsip "the greatest good for the greatest number" ya itu malah yg perlu didekonstruksi.
Lagi pula, memang bangunan sekarang sudah sangat tepat.
Bahkan sangat tepat sekali. For the very few smalest peoples only.
Like you... and me.
Sugeng manggihi warso Kolotidho,
yOg.
biasalah, status quo pasti selalu punya dalil...santai bos. Qt juga punya dalil sendiri kok....
Menurut yang punya status, maka status quo adalah tepat. Bagi yang terpinggirkan, dan membela yang dipinggirkan. Status penjilat...he2
"In each city are found these two different desires ... the man of the people hates being ordered and oppressed by those greater than he. And the great like to order and oppress the people" [Machiavelli]
salam,
tauf
A creative genius cannot be trained. There are no schools for creativeness. A genius is precisely a man who defies all schools and rules, who deviates from the traditional roads of routine and opens up new npaths through land inaccessible before. A genius is always a teacher, never
a pupil; he is always self-made. He does not owe anything to the favor of those in power. (Ludwig von Mises, Beruaucracy:14)
Dengan demikian, kalo mengacu pendapat Mises, Fahmi "berpotensi" menjadi jenius...
Lanjutkan perjuanganmu Le...!
Tapi byk org suka berada dalam sistem yg menguntungkan. Kenapa ya mas?
wah banyak alasannya: status sosial, gaji pasti, aman, nyaman, murah, terhormat, disenyumi banyak orang, hidup normal, enggan mati, sering syukuran, sering nyumbang (masalah bukan dari kocek sendiri sih), bisa nambah selingkuhan, bisa main facebook setiap hari, tidak usah dimarahi pelanggan (he2),tidak dikejar target (cuma tanggungjawab dengan dalil "mengabdi"),bisa bikin bingung banyak orang melalui metode statistiknya yang canggih, bisa seolah-olah alim dsb...dsb...dsb...pokoknya 'mirip' di surga gitu loh...
Kalo ada yang mudah, ngapain pilih yang susah? itulah fungsinya sistem--Birokrasi makdsudnya)...
giyanto:"bisa nambah selingkuhan", karena disistem tersebut misalnya di PNS atopun aparat pemerintah lainya, ga membolehkan poligami. Coba kalo poligami dibolehkan istilah selingkuh pasti akan jarang terdengar,hidup poligami!
mau ikutan pelatihan sehari jadi jenius?
Posting Komentar