online degree programs

Minggu, Mei 31, 2009

Mencermati Pandangan Ekonomi Capres: Kesalahan Mentalitas Anti-Kapitalisme




Neoliberalisme dan ekonomi kerakyatan telah beradu. Namun keduanya tidak berdiri dalam kursi yang tegas. Dengan penuh kepercayaan diri, ekonomi kerakyatan membangun kredonya untuk komoditi politik. Padahal ekonomi kerakyatan ini lebih cenderung pada ekonomi sentralistik. Di mana pertumbuhan ekonomi sangat lambat, kompetisi pelaku bisnis dikerdilkan, membuat negara jauh terbelakang alias miskin.

Sialnya, neoliberalisme dalam praksis bukanlah pihak yang berani mendeklarasikan diri. Meskipun dalam label dan refleksi kerja, diketahui prioritas kebijakan moneter, penaikan suku bunga, dan intervensi negara dalam pasar. Yang semuanya itu sarat akan arah kebijakan neoliberalisme. Tapi, mereka tak mau dinamai kaum neoliberalisme.

Perang neoliberalisme dan ekonomi kerakyatan sudah tak terbendung lagi. Mana yang lebih baik?. Sebuah pertanyaan yang cukup sulit di jawab. Tetapi, jika ingin proporsional, maka dua-duanya sama-sama buruknya. Pertama, ada semacam sindrom anti-kapitalistik yang menyesatkan. Kedua, dua-duanya meresmikan diri pada ligitimasi intervensi negara dalam bidang ekonomi. Dua argumentasi ini yang membuat kebijakan ekonomi capres lemah secara teoritis dan etis.

Anti-kapitalisme telah tertanam di banyak benak massa sebagai hantu. Wujudnya tak nampak, tetapi ketakutannya terasa. Padahal sekarang ini, masyarakat telah menjadi masyarakat yang sangat kapitalistik.

Perubahan masyarakat dari masyarakat tradisional menuju ke masyarakat kapitalis di tandai dengan kedaulatan penuh di tangan konsumen.1 Praktek kapitalis telah berlangsung lama. Dengan sistem kapitalis-lah orang-orang dapat mendapatkan kemakmuran. Tetapi justru, citra kapitalis yang terbangun begitu buruk itu, maka melahirkan mentalitas antikapitalis. Begitulah kira-kira yang ditulis Ludwig von Mises, dalam The Anticapitalistic Mentality.

Kapitalis memang bukan system ekonomi yang mampu mengatasi semua persoalan kehidupan ekonomi manusia. Tetapi kapitalis merupakan sistem terbaik yang pernah ada di muka bumi ini. Negara-negara maju dengan pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan manusia tercanggih menggunakan sistem kapitalis secara terbuka.

Terakhir, kritik pada pandangan adanya intervensi negara dalam pasar. Dengan dalih, keadilan, kesejahteraan, kemanusiaan, siapalah yang tidak menyetujuinya. Tetapi jika di cermati kebijakan campur tangan ini, maka akan nampak banyak ketimpangan.
Berbagai kepetingan bermain, pajak-pajak tidak sekadar pemerasan, melainkan pengkerdilan pelaku bisnis. Negara menjadi penghambat laju pertumbuhan ekonomi bangsa.

Meskipun neoliberalisme lebih moderat ketimbang ekonomi kerakyatan. Tetapi kedua-duanya masih melegalkan campur tangan negara mengatur pasar. Akibatnya, inflasi tak terkendali hingga bisa mencapai hiperinflasi, pertumbuhan sektor riil dikesampingkan. Persaingan menjadi tidak sehat. Sebab ada wasit gadungan, yang bersembunyi di bawah kedok amanah rakyat, tetapi kelakuannya tak ubah sebagai penghisap dan benalu.

Negara sudah seharusnya hanya menjadi mediasi, ruang pertemuan, atau shelter. Bukan kemudian memanfaatkan ketakutan publik terhadap bahaya kapitalisme untuk masuk dalam percaturan pasar. Negara ideal yang mampu menopang kehidupan ekonominya adalah negara yang memposisikan dirinya sebagai fasilitator. Hayek mengkonstatasikan bahwa negara hendaknya membangun problem ekonomi dengan pengkoordinasian saja, established the central problem of economics as one of coordination.2 Mekanisme selanjutnya adakah dengan menyerahkan pada permintaan pasar. Dengan cara mengatur seperti ini, maka Negara berhasil terlibat tanpa merusak keberlangsungan kehidupan ekonomi yang sudah berjalan.

Pada akhirnya, jika capres masih saja belum memperbaharui visi ekonominya, maka yang terjadi adalah permintaan pada warga untuk mempersiapkan diri atas keterpurukan ekonomi selama 5 (lima) tahun kedepan.



Awaludin Marwan/ Luluk

1. The modern concept of freedom means. Every adult is free to fashion his life according to his own plans. He is not forced to live according to the plan of a planning authority enforcing its unique plan by the police, i.e., the social apparatus of compulsion and coercion. What restricts the individual’s freedom is not other people’s violence or threat of violence, but the physiological structure of his body and the inescapable na-ture-given scarcity of the factors of production. It is obvious that man’s discretion to shape his fate can never trespass the limits drawn by what are called the laws of nature. To establish these facts does not amount to a justification of the individual’s freedom from the point of view of any absolute standards or metaphysical notions. It does not express any judgment on the fashionable doctrines of the advocates of totali-tarianism, whether “right” or “left.” It does not deal with their. Kebebasan yang bukan semacam perilaku kesewenang-wenangan, melainkan kebebasan yang lebih bermakna. Setiap orang bebas memiliki rencana hidupnya masing-masing. Tidak karena paksaan dari kekuasaan yang berdiri di atas otoritas semu. Tidak adanya pembatasan terhadap kebebasan perseorangan. Sehingga dengan kesadaran ini yang terkonstruksi, tak ada lagi orang yang menggunakan instrumen kekuasaan dalam mempengaruhi kebebasan orang lain. Tak ada ancaman kekerasan dan tak ada paksaan. Biarlah struktur psikologis membimbing tiap-tiap orang untuk berpenghasilan dengan keinginan-keinginannya. Pertimbangan-pertimbangan pribadi akan membuat kebijaksanaan untuk menentukan nasibnya sendiri, inilah yang kemudian disebut hukum alam (the law of nature). Ludwig von Mises. 1972. The Anti Capitalistic Mentality. Libertarian Press, Inc.
2. Scott A. Beaulier, Peter J. Boettke, Christopher J. Coyne. 2002. Knowledge, Economics, and Coordination: Understanding Hayek’s Legal Theory.. Journal of Law & Liberty. 2000.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

well, this is an interisting subject,we all knew that capitalism has grown up after WW II and become most powerful force in the economic aspect.
but, we have 2 realize, capitalism had several bad track record, depression 1929 in US ,is d proof....and bla..blaa.. (continued after lunch)

Anonim mengatakan...

so the solution is "revolusi , nasionalisasi , komunisasi .