Sebuah judul yang sebenarnya menandakan tema besar untuk dikaji. Namun, di dalam tulisan ini hanya ingin membuka cerita tentang dua narasi, yakni: progresif dan deliberatif.
Saya harus jujur mengakui, tulisan ini banyak dipengaruhi oleh dua pemikir besar bangsa ini: Prof Satjipto Rahardjo dan pemikir generasi terakhir Mahzab Frankfut Jürgen Habermas. Dua pemikir besar ini memang tidak bisa dibandingkan, karena dua-duanya memiliki intensitas konsentrasi yang berbeda. Tetapi keduanya memiliki pertautan yang signifikan.
Satjipto memecah kebuntuan pemikiran hukum yang mekanistik dan metodis. Sehingga posisi modernitas hukum yang mapan ini menjadikan produksi mitos yang singular. Ia diterima apa adanya, tanpa dekonstruksionis atau semacam usaha kritis padanya. Modernitas hukum telah membangun sebuah narasi besar yang homogen. Fiksi-fiksi tradisionalis yang berbasis pada kearifan lokal, adat-istiadat, rasa keadilan parsial, dan phenomenon klasik ditinggalkan begitu sadis oleh masyarakat dengan hukum modern.
Meskipun Satjipto tidak banyak mengira, bahwa fiksi-fiksi tersebut sifatnya produktif. Memiliki kontingensi untuk menghegemoni praktek universalitas peradaban dan pengetahuan. Dan menenggelamkan narasi besar. Fiksi yang terlupakan, suatu saat menjadi simbol neokolonialisme yang memproduksi objektivikasi dan normalisasi baru.
Timbul-tenggelamnya peradaban dunia tak lepas dari pertarungan fiksi yang luput dari perhatian Satjipto. Para kreator di era modernitas ini justru melakukan produksi budaya massa dengan fiksinya yang lebih mistis dan irasioalis. Tetapi lebih merepresentasikan hasrat dan libidinal masyarakat. Lihat saja, Lara Croft, World Disney, McDonald, dst.
Kendatipun demikian, Satjipto merupakan seorang ilmuwan hukum yang jenius dan kritis. Hukum progresif, salah satu produk intelektualnya yang tak boleh dipandang remeh—meskipun hukum progresif memiliki kekosongan generasi atau lebih tepatnya jatuh pada tangan orang-orang yang salah—, merupakan dekonstruksionis atas metanarasi positivisme dunia hukum.
Sehingga proyek hukum progresif hendaknya terus didialektikakan oleh beragam konsepsi filosofis, sebagai narasi yang tak boleh berhenti, melainkan harus menjadi cerita yang terus bersambung, menuju kebenaran intertekstualitas. Berlari-lari dari satu teks ke teks yang lain tak berkesudahan. Dalam rangka pelarian inilah, diskursus tentang hukum progresif dipersambungkan dengan wacana deliberatif a la Habermas.
Sebagai pewaris teori kritis Habermas tak luput dari pergeseran pemikiran sekaligus penguatan konsistensi dalam pemikirannya. Filsafat kesadaran (Bewuβtseinphilophie) yang dikemukakan oleh Habermas, yang berbasis pada eksistensi subjek, sehingga pengetahuan pun mungkin (possible) menjadi ilmu pengetahuan, ke-tidakmungkin-nan dominasi ilmu pengetahuan semula hanya dimiliki oleh cara saintifik yang memiliki ukuran tertentu yang kaku.
Perlakuan subjek dan pengetahuannya di atas ini telah ditampik oleh Habermas sendiri, dengan rasio dan tindakan proseduralis. Rasio praktis yang direka-reka sebagai produk rasio akal budi murni manusia yang bersifat apriori tidak bisa lagi dipertahankan sampai di sana saja. Rasio itu harus diikuti dengan tindakan komunikatif, yang melampaui perilaku strategis pada ruang publik. Sehingga etika diskursus, pola komunikasi yang bertujuan untuk tranformasi gagasan secara emansipatoris menuju ke-saling pengertian intersubjektif harus dioperasikan pada masyarakat dewasa ini.
Dari sinilah nampak sebuah benang merah yang menarik dua pemikiran yang berkelindan. Satjipto yang mengkonstatasikan hukum tidak berhenti pada bentuk modernitas yang formalis. Dan Habermas yang tidak ingin berhenti pada pelandasan rasio praktis pada ilmu-ilmu alam yang patut diberikan sentuhan subjektivitas.
Satjipto menawarkan intervensi ketidak-mungkinan pada bidang ilmu hukum melalui konsep progresif-nya, sementara Habermas menawarkan demokrasi deliberatif yang berbasis pada komunikasi diskursif. Dua pemikir itupun sama-sama sensitif pada ekspansi kapitalis yang berusaha mengobjektivikasi pengetahuan dan sejarah manusia. Satjipto menyatakan watak individualis-liberalis pada konstruksi hukum modern, sementara Habermas sinis pada universalitas pengetahuan yang sebenarnya sarat kepentingan.
Habermas memang memecahkan dilema intelektualisme dunia hukum yang sebelumnya sepi yang hanya dihuni oleh dokrin, dogma, asas, dan mahzab aliran pemikiran hukum yang terkurikulum kaku. Perdebatan di dunia pemikiran hukum tidak banyak berkembang apalagi sampai sepanas di bidang politik, filsafat, dan budaya. Persinggahan Habermas di ranah hukum membuka banyak cerita-cerita yang potensial teraktivasi lagi.
Pembangkitan cerita kecil hasil kegelisahan intelektual para pemberontak pemikiran mapan di dunia hukum patut didorong dengan wacana-wacana sentral dalam ruang pulik ini. Memang bukan pekerjaan mudah, mengelaborasi dua pandangan progresif dan deliberatif ini. Namun sederhanya, hukum progresif deliberatif ini bertujuan untuk pemikiran hukum tidak berhenti pada titik formal dan legal, tetapi haruslah diikuti dengan formasi diskursif hingga membuka keran-keran diskusi selebar-lebarnya bagi berbagai kemungkinan dalam konstruksi dan operasionalisasi hukum itu sendiri.
Hukum progresif deliberatif adalah pemikiran hukum yang memecah kebuntuan sistemik dalam pemikiran hukum, berusaha membebaskan diri dari keterbelengguan teoritis yang telah bermetamorfosis menjadi mitologi-mitologi yang seharusnya dikritisi. Mengangkat tema-tema diskursif tanpa pretensi hegemoni yang hanya akan menciptakan keseragaman pemahaman sebagai bentuk imperialisme pengetahuan.
Hukum progresif deliberatif adalah gagasan di dunia hukum yang mencoba menarik diri dari dominasi kekuatan kapital yang berupa nilai-nilai universal yang harus dipatuhi tanpa upaya komunikatif. Mencoba mempertanyakan kekuatan-kekuatan dominan yang biasanya berbentuk individualis, liberalis, objektivis, dan formalis. Mengajak dialog dengan kekuatan-kekuatan minoritas, marjinal, kecil, dan yang tersisihkan.
Hukum progresif deliberatif adalah pola proseduralis yang memanusiakan manusia. Komunikasi emansipatoris yang mengandaikan ketiadaan ploretariat. Menuju sebuah kehidupan sosio-politik yang lebih baik tanpa intervensi, paksaan, dan tekanan dari pihak manapun.
Dengan demikian, berbagai tema sentral yang nampak secara metafisis dapat dimungkinkan dengan hukum progresif deliberatif. Sebab hukum yang pasang-surut di bawah bayang-bayang ”keadilan” itu terkadang sulit diselesaikan. Formasi diskursif tentang ”keadilan” akan mungkin, dengan paradigma hukum progresif deliberatif, hukum yang untuk manusia dan komunikatif sifatnya.
Tetaplah, hukum progresif delibearatif akan mengandung implikasi sebagai konsekuansi logis yang harus dijalankannya. Pertama, legitimitas hukum yang komunikatif. Persoalan hukum acapkali berkutat dalam soal legitimasi, keabsahan, kesahihan, fakta hukum, dst. Budihardiman (2009) menafsirkan pola dikursus di bidang institusionalisasi yang tidak hanya sebatas diskursus pendasaran. Tetapi juga disusul dengan diskursus pragmatis dan diskursus penerapan. Hukum dimengerti sebagai hasil deliberasi, argumantasi implementatif program kolektif, dan artikulasi konflik.
Hukum tidak berhenti hanya sebatas pelegalan akhir bentuk yuridisnya. Hukum sudah seharusnya terus-menerus dikomunikasikan, diperdebatkan, dan diperbincangkan. Obrolan tidak hanya dibuka saat hukum itu hendak dibuat. Sehingga program legislasi itu tidak sebatas mendengar opini publik, melainkan mengajak publik untuk berdiskusi menentukan bentuk dan formula hukum yang dipilihnya. Dan, memberikan masukan, kritik, saran pada institusi hukum yang sudah diundang-undangkan secara terbuka. Tidak ada pemaksaan, anarkisme, dan intervensi yang mempengaruhi pendapat dan pengkaburan pengetahuan khalayak di dalam ruang diskusi.
Memang, cukup ideal dan menjanjikan. Tetapi mungkin tidak cukup realistis, jika dibenturkan dengan konteks kondisi Indonesia saat ini. Benturan teknis yang berupa diferensiasi tingkat intelektualisme dan pendidikan yang antagonis sebagai problem akut di dalam palaksanaan gagasan ini. Jerman, sebagai negara yang melahirkan gagasan demokrasi deliberatif mengandaikan masyarakat yang sudah mapan, berpendidikan, memiliki intelektualisme yang mudah dikomunikasikan. Berbeda jauh dengan nusantara ini, yang musti membangun sumber daya dulu. Dan tahap-demi-setahap, saya yakin dapat dilalui. Bukannya kita dulu sudah melaksanakan demokrasi a la ”musyarawah” sebagai replikasi demokrasi deliberatif yang mungkin bisa ditingkatkan kualitasnya.
Kedua, hukum tanpa ruang. Pengandaian pola pembagian atau pemisahan kekuasaan administrasi banyak kita jumpai dalam teori politik atau teori negara modern. Meskipun Habermas dan Satjipto juga berpijak pada pola ini, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Gagasan yang ditengarai oleh John Locke atau Montisquieu ini tetap saja dibuat terbuka dengan berbagai ide alternatif. Habermas dan Satjipto tak ingin melepaskan ketiga imperium kekuasaan itu, tetapi juga tak ingin terjebak buta di dalamnya. Dengan usaha melampaui batas-batas institusional, dan menggelandang ke ruang publik yang lebih luas. Dimungkinkan kinerja kekuasaan institusional tersebut lebih demokratis dan posbirokratik yang berorientasi pada tujuan.
Pembukaan tirai-tirai besi kelembagaan kepada ruang publik yang lebih luas untuk formasi diskursif sangatlah dkehendaki dalam hal ini. Kontribusi teori sistem Nihklas Luhmann cukup menggambarkan bahwa publik sosial tidaklah terdiri dari metanarasi bak sistem organ vital mahluk hidup, melainkan organisme yang hidupnya merekonstruksi dirinya sendiri. Sistem autopoeisis inilah menandakan tipikal masyarakat dalam varian ruang publik yang tak terbatas dan tak terbilang. Ia luas, beragam, plural, heterogen, terkotak-kotak, hidup sendiri-sendiri, segmentatif, tetapi masih memiliki potensi diskursif praktis guna membangun kebersamaan.
Terakhir, ketiga, kekosongan subjek. Modern, sebuah proyek yang belum tuntas. Tapi penuntasannya tidak boleh dengan paksaan dan ekspasivitas yang buta. Berbekal filsafat politik Rousseaou dan filsafat pengetahuan Immanuel Kant, Habermas mengidentifikasi kehendak umum yang terejawantahkan menjadi tubuh politik dengan formasi diskursif praktis. Apapun bentuk tubuh politik itu, haruslah memiliki landasan kehendak umum. Jika tidak, maka totalitarianisme yang akan melanda sebuah negara. Tubuh politik inilah yang mengandaikan pengosongan subjek. Sehingga tidak ada relasi pemimpin dan yang dipimpinnya, sebab rakyatlah yang memimpin dirinya sendiri. Hal yang senada diambil oleh Satjipto Rahardjo, yakni dengan pernyataan permasalahan hukum bukanlah dalam aparat penegak hukum, melainkan perilaku manusianya. Nampak paradoks, satu sisi eksistensi kuasa subjek eksis dan sisi lain adalah subjek yang kehilangan. Tetapi, pengandaian perilaku manusia ini justru juga menegasikan subjek, bahwa kemudian Satjipto percaya bahwa perilaku baik mungkin bisa mengkonstruksikan hukum yang baik. Perilaku yang baik sebuah utopia dan potensi universalitas.
Awaludin Marwan, SH
Kaum Tjip-ian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar