Perkembangan terakhir hukum progresif diarahkan oleh Prof Tjip hingga menembus studi biasa ilmu hukum. Ilmu hukum tidak hanya sekadar mempelajari norma-legisme (rule or regulation). Bukan juga hanya sampai pada pembahasan dikotomi hukum dan masyarakat (sosiology of law, sosiology jurisprudence, sosio-legal). Akan tetapi, hukum juga hendaknya sampai pada intervensi ketidak-mungkinan (intervention on the impossibility), hukum menyebar ke segala penjuru (spread to all corners of the discourse), yang terakhir ini disebut oleh Prof Tjip sebagai deep ecology.
Apa dan bagaimana deep ecology itu? Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa tranformasi eksistensi manusia yang semula berada pada sentral pengetahuan menuju ke “yang holisme”. Manusia menjadi bagian dari alam, ekosistem, lingkungan yang tak dapat dipisahkan dalam memproduksi kekuatan pengetahuan manusia. Sehingga hukum pun tak sebatas pada ekistensi manusia, melainkan merambah keluar menuju eksistensi alam.
Barangkali, pergeseran pemikiran Prof Tjip ini (mungkin bisa diperdebatkan kata “pergeseran” ini) mempengaruhi diktum “hukum untuk manusia”. Hukum untuk manusia adalah filosofi tertinggi hukum progresif, sehingga ada kalanya refleksi hendaknya dilakukan secara intensif pada diktum tersebut. Ada beberapa kemungkinan tentang “perubahan” diktum. Misalnya kemungkinan yang logis adalah hukum untuk alam, hukum untuk manusia dan alam, hukum untuk keseimbangan manusia dan alam, hukum untuk manusia bagi keutuhan alam, dst.
Pandangan Prog Tjip tentang deep ecology ini bukanlah asumsi spekulatif tanpa dasar. Akan tetapi hasil gorengan beliau terhadap 4 (empat) buku fisikawan dan filsof termasyur Fritjof Capra. The tao of physics, the turning point, the web of life, the hidden connections dikombinasikan oleh Prof Tjip dengan cukup baik, hingga mendistribusikannya dalam terminologi ilmu hukum. Tetapi nampak terdapat kelemahan, jika hanya 4 (empat) karya tersebut yang dijadikan rujukan. Sebab, Capra seorang yang produktif menulis buku-bukunya.Uncommon Wisdom, Green Politics , Belonging to the Universe,EcoManagement, dan Steering Business Toward Sustainability. Dan yang paling terpenting dan terbaru pun ketinggalam, yakni: The Science of Leonardo.
Tulisan ini hendak memberi ulasan akan arti pentingnya buku The Science of Leonardo untuk penguatan teoritis deep ecology hukum progresif. Perlu beratus-ratus halaman untuk mengkombinasikan antara deep ecology dengan pemikiran Capra terbaru itu. Mahlum pemikiran Capra yang relatif masih segar keluar pada tahun 2007-an itu memilih menggunakan perspektif ilmuwan Renaissance, yakni: Leonardo da Vinci.
Berbeda dengan gagasan-gagasan Capra sebelumnya yang memandang sinis ilmuwan barat. Kali ini Capra tak hanya menyatukan antara gaya pemikiran Amerika yang empiris-prakmatis dengan metafisika mistikus timur, tetapi juga metode eksperimen yang juga melanda sebagian ilmuwan barat.
Leonardo merupakan tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam dunia sains. Tapi sinarnya tak seterang Newtonian-Cartesian. Yang terakhir ini merupakan raja-raja di dunia sains modern. Tapi Capra memilih Leonardo sebagai sebuah perspektif dan meramu ide besarnya untuk memecahkan problem sains kontemporer. Satu hal yang sebenarnya cukup mengherankan. Di tengah-tengah sinisnya Capra pada ilmuwan barat, ia menggunakan Leonardo sebagai paradigma. Ini menandakan (signified), bahwa Capra ingin “tak hanya memandang orangnya, tetapi apa yang dikatakannya”. Keterbukaan pada semua aliran pemikiran harus dilancarkan dalam rangka memperkokoh paradigma sains secara individual-pribadi seorang ilmuwan.
Sekurang-kurangnya dua hal yang bisa dibicarakan di sini, bagaimana Capra menilai Leonardo. Pertama, pandangan estetika Leonardo yang cukup mempengaruhi cara pandangnya terhadap objek. Pandangan akan arti pentingnya seni dalam kehidupan manunsia, menyadarkan kita bahwa intuisi ini sangatlah penting. Di kalangan seniman, Leonardo mempunyai pengaruh pada karakter kepribadian yang misterius memiliki rasa keindahan dalam lukisan. Sehingga, “rasa” merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan nalar atau rasio. Dalam menikmati lukisan indra manusia semua bekerja menemukan makna berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya.
Kedua, Leonardo tak seperti newtonian-cartesian dalam memandang alam dan objeknya. Newtonian-cartesian cederung mekanistis, cogito haruslah di ikuti dengan keragu-raguan dan metode yang absah. Namun, Leonardo adalah seorang ilmuwan yang memandang secara sistemik, holisme dan kompleks. Bahwa pengetahuan didapat dengan penjelajahan pola yang terhubung satu sama lain di berbagai bidang (persistent exploration of patterns, interconnecting phenomena from a vast range of fields). Leonardo memang dikenal sebagai pemikir sistemtik (systemic thinker), pandangan ekologis (ecologist), dan teoritikus yang kompleks (complexity theorist).
Sederhananya, jika dua bacaan simpel atas perrpektif Leonardo a la Capra yang di kaitkan dengan konsep hukum progresif, maka hukum hendaknya menggunakan perangkat intuitif, meluangkan ruang bagi hal mistis, metafisis, estetis, bukan sekadar rasionalis. Hukum juga hendaknya memiliki metode multidisipliner yang berbasis pada holismisitas. Masalah kehidupan berupa problem yang tersambung dari satu dengan yang lain. Jadi perlu menyingkap pertautan problem tersebut untuk mendapatkan pemecahan masalah melalui hukum.
Awaludin Marwan (Luluk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar