Subjek telah mati. Ia dibunuh oleh modernitas sendiri yang melahirkannya. Ia pun dibantai, dimutilasi, dan bangkainya dibuang jauh-jauh oleh posmodern. Lalu, bisakah subjek ini dibangkitkan dari kuburnya. Apa jadinya kehidupan tanpa subjek?
Jika kerusuhan, kerusakan, kehancuran, kebiadaban dan semua peristiwa buruk terjadi siapa yang bertanggung jawab. Subjek telah mati. Objek, tubuh politik, ruang publik, simulasi, kuasa, tak mau bertanggung jawab. Karena memang tidak bisa dimintai pertanggung-jawaban. Situasi kosong, tanpa subjek itu, mengerikan.
Situasi kosong itu dengan mudah dimainkan oleh kekuasaan. Situasi kosong itu mudah dimanipulasi dan direkayasa. Kehancuran dalam kekosongan itu tak ada yang menyelesaikannya.
Para kerumunan pemikiran kontemporer, posmarxis, mencoba menghidupkan kembali subjek. Dengan pintu gerbang Jacques Lacan, Slavoj Žižek dan Alain Badiou mencoba merekonstruksikan filsafat subjek yang diberangus oleh filsafat analitik, dan filsafat kontinental.
Filsafat subjek ini bukanlah subjek yang teralienasi seperti yang dikatakan Descartes, cogito ergo sum, melainkan subjek yang juga mengacu pada orang lain, cogito ergo es. Es, dimaknai cogitan sebagai sesuatu yang mengacu pada yang lain (the other). Subjek itu memiliki tahap pembentukan dari tahapan imaginer (the imaginary), tahap simbolik (the symbolic), dan tahap real (the real). Sifat subjek yang terpecahkan (split subject), subjek selalu berusaha mencari kepastian diri, yang acapkali mengacu pada Yang Lain. Subjek itu memiliki kuasa dalam menentukan konstruksi realitas.
Wilayah subjek bukanlah ruang tanpa tuan, kosong, dan sempit. Tetapi wilayah subjek itu cukup luas. Ia berisikan kebutuhan (need), tuntutan (demand), dan hasrat (desire) yang bertalian dengan struktur bahasa antara penanda (signifier) dengan petanda (signifid). Badioulah yang memecahkan persoalan ditengah pesimisme dan ketiadaan subjek dalam persimpangan konstruksi kapitalisme lanjut.
Badiou meyakini bahwa diskursus tentang kebenaran patut ditampilkan kembali dalam filsafat. Sebab, diskursus tentang kebenaran ini nyatanya banyak dilupakan dalam situasi kapitalisme lanjut ini. Para pemikir berikut aliran-aliran intelektualnya, terjebak dalam metodologi, mekanisme prosedural, perspektif, paradigma, dst. Diskursus kebenaran oleh Badiou diulas kembali dengan semangat kembalinya subjek ditengah rekonstruksi teoritisnya.
Inilah yang disebut, radikalisme dalam terminologi Badiou. Yakni mengembalikan problem filsafat pada persoalan yang mendalam: kebenaran. Kebenaran itu sendiri yang pada dewasa ini hampir dilupakan.
Kebenaran (vérité) tak bisa dilepaskan dari subjektivisasi. Kebenaran dan eksistensi subjek hadir secara bersama-sama. Eksistensi subjek memiliki peran strategis karena mengandalkan keyakinan, kepercayaan, atau kemantapan. Umpamanya kedapatan pemahaman intersubjektif itu mungkin terjadi, tetapi tidak akan menjadikannya sebuah objektivitas. Keputusan intersubjektif itu bersifat deterministik pada masing-masing subjek itu sendiri. Tafsir yang beragam, sikap yang berbeda, pilihan bahasa dalam suatu situasi menunjukan pengaruh besar subjek dalam menentukan sesuatu.
Lebih lanjut, Badiou menyatakan kebenaran itu berdimensi ruang. Kebenaran bersifat material. Ruang hampir bisa dikategorikan suatu yang nyata, sementara waktu berbentuk abstrak. Dari sini nampak terlihat tradisi Marxian dialektika materiil punya andil dalam kategori kebenaran versi Badiou.
Selanjutnya, kebenaran selalu muncul dengan singularitas. Badiou menyatakan ”singular truth has its origin in an event”. Kebenaran tunggal memperlihatkan keasliannya dalam sebuah kejadian. Tawaran multiplisitas juga tak akan mungkin menggantikan bentuk singular tersebut. Sebab, pada umumnya, yang singular itu mempunyai bentuknya yang hegemonik. Dari sinilah pandangan terhadap yang politis Slavoj Žižek cukup bermanfaat, yakni: intervensi terhadap yang tak-mungkin (risking the impossible). Sedangkan Badiau sendiri menawarkan radikalisme, berupa revolusi total melalui agen perubahan berupa ”aktivitas politik” sebagai lawan dari politisi. ”Sesuatu” itu haruslah diusahakan untuk diubah menjadi ”sesuatu yang baru”. Badiou menawarkan keterlibatan radikal yang mempengaruhi ”kejadian” secara militan.
Hal ini terlihat dalam upaya Badiou dalam mengusahakan dekolonialisasi yang mensaratkan adanya radikalisasi aktivitas politik melawan bentuk poskolonialisasi. Pasca kolonialisme konvensional yang berbentuk agresi, imperialisasi, dan penjajahan sebagaimana pendudukan Prancis ke Al-jazair dulu, kolonialisasi lanjut bergerak melalui infiltrasi ekonomi, kultural, politik internasional, dst.
Kritik pedas Badiou ditujukan pada Heidegger juga sangat subtansial. Di awal sub bab filsafat dan kebenaran dalam bukunya Infinite Thought: Truth and Return to Philosophy, mengatakan demikian:
Mempertanyakan bangunan kebenaran Heideggerian yang tak meninggalkan solusi, selain hanya problem puitik […] Asumsi sinis patut disematkan pada tradisi filsafat analitik yang menekankan pada proposisi keputusan […] Kebenaran sebenarnya dalam bentuk konstruktif dan berkelindan dalam kejadian dan seperti potensi generic yang ditranformasikan dalam pengetahuan […] Seluruh kategori yang menyebutkan esensi kebenaran masuk dalam pemikiran pada bentuk negatif.[1]
Ketika menyebutkan proposisi yang dianggap efektif dalam menyingkap fenomena linguitik, hanya akan mengestimasikan sesuatu, yang sangat jauh seperti yang seharusnya dipersiapkan. Konsekuensinya, de-naturalisasi atas esensi kebenaran [...] Intrepretasi hanya menempatkan kebenaran dalam semangat intelektual prakmatis [...] Terjebak pada persoalan puitik yang jauh dengan ilmu, logika dan matematika [...].[2] Badiou meneruskan di halaman-halaman berikutnya atas problem klaim kebenaran pada ranah filsafat ini.
Kebenaran tidak memiliki batasan dalam bentuk keputusan. Hegel melihat kebenaran sebagai sebuah ”aliran”[...]. Membedakan kebenaran dari pengetahuan merupakan problem esensial [...] Antara nalar (reason) dengan pemahaman (understanding) [...] Kebenaran haruslah dimasukan dalam pemikiran, bukan dalam keputusan, tapi seperti sebuah proses dalam tatanan the real [...] Pemikiran membuka ulang nalar ketak-berhinggaan sebagai prosedur verifikasi kebenaran [...] Prosedur ini adalah hasil akhir bersama situasi, konsekuensi aksioma dalam kejadian.[3]
Kemudian, kebenaran diterjemahkan oleh Badiou sebagai produksi lokal yang hendak membebaskan relasi, sebuah kondisi produksi radikal yang otonom, dan determinasi itu sendiri (self determination). Badiou percaya bahwa tidak ada kebenaran dalam geeralisasi. Hanya kebenaran kebenaran partikular yang ada dalam situasi yang partikular pula. Sebagaimana yang ditulis oleh Peter Hallward:
Badiou believes that there is no truth in general; there are only particular truths in particular situations. But precisely as the truth of its situation, each truth, in its essential inconsistency, is an exposure of the “Sameness“ of being. A situation counts its elements, and its state counts groups of these elements as one: only a generic procedure, by contrast, exposes the truth of what is counted in a situation, that is, its inconsistent being. Generic procedures reveal that which is counted, or presented, “in the indifferent and anonymous equality of its presentation.[4]
Tepatnya kebenaran situasional juga mengandaikan kebenaran lain, yang merupakan bagian paling esensial meski inkonsisten dan mengharapkan unifikasi. Situasi merupakan elemen penting dalam konstruksi kebenaran. Karena hanya dalam situasilah kebenaran bisa mungkin (possible). Prosedur umumlah yang paling potensial untuk menyamakan pandangan dalam presentasi. Karena presentasi adalah pada sisi keadaan, sementara representasi pada sisi dari bagian keadaan.
Yang paling menarik berikutnya adalah ini. Badiou menyatakan ”kebenaran itu bukan ditemukan, melainkan dibuat”. Kebenaran itu dideklarasikan (declared), disusun (composed) dan ditegakan (upheld). Kebenaran adalah kreasi imaginatif subjek. Proses abstraksi melampui struktur bahasa membuat individu maupun kolektif bergerak tidak hanya untuk membentuk kebenaran, melainkan hingga memiliki kehendak untuk merealisasikan kebenaran.
Realisasi kebenaran didasarkan pada capaian putusan (for judging (or interpreting)), didedikasikan bagi ketepatan (the validity (or profundity)). Badiou memilih matematika sebagai ontologi dalam menjawab problem validitas. Dan realisasi kebenaran memutuskan untuk membangun pernyataan atas pemahaman (of opinions (or understandings)). Kebenaran itu persoalan pilihan. Kebenaran itu problem validitas yang menyatu dengan kesadaran akan keadaan yang mendalam. Dan, kebenaran itu menuntut aksi demonstratif.
Terakhir, Badiou mencoba untuk memberikan daftar empat mode tentang kebenaran, yakni: revolusi (revolution), hasrat (passion), penemuan (invention), dan kreasi (creation). Di samping itu Badiou juga menyediakan empat domainnya, yakni: politik (politics), cinta (love), ilmu pengetahuan (science), dan seni (art). Lalu, bagaimana Badiou mengoperasikan empat mode dan domain itu. Yaitu dengan cara menggabungkan antara filsafat dengan empat mode dan domain itu. Filsafat tidak bisa bekerja sendirian untuk membangun kebenaran, melainkan harus bekerja-sama dengan revolusi politik, hasrat cinta, penemuan ilmu pengetahuan, dan kreasi seni.
Diskursus Badiou tentang kebenaran juga tak terlepas dari bahasan tentang metastruktur. Ketika menempatkan bahwa semua bentuk multiplisitas presentasi dianggap sebagai fenomena kekosongan yang berbahaya. Umpamanya negara yang dipahami oleh Badiou telah tercerabut dari tujuan dan makna terhadap ”yang politis”. Ia menempatkan struktur sebagai poin absolute sebagaimana kaum strukturalis yang memandang dunia layaknya rangkaian struktur terbuka yang matematis.
Metastruktur berusaha menempatkan persoalan kebenaran ke dalam ruang yang mencapai kedalaman dan melepaskan diri dari disorieantasi filosofis. Sehingga persoalan institusi bukanlah problem intrumental, melainkan juga problem teorema ontologis. Salah satu perdebatan ontologis adalah perbedaan ”ada”. Metastruktur merupakan pilihan yang ideal diantara metastruktur itu sendiri dengan negara ditengah tipologi ”ada”. Tipologi tentang ada (the Typology of Being) terdiri dari normalitas (normality), singularitas (singularity), dan kesatuan (excrescence).
Badiou menyebutkan bahwa normalitas sebuah bentuk yang berada dalam dua jalan: presentasi dan representasi. Sementara singular dan kesatuan bersifat presentasi tapi tidak representasi.[5] Presentasi berkaitan dengan ”pada sisi dari situasi”, sedangkan representasi berkenaan dengan ”pada sisi dari bagian atas situasi”. Presentasi muncul secara langsung, sedangkan metastruktur berada dalam representasi yang tak lepas dari setingan yang disentuh filsafat dan matematika yang menghitung dari hitungan (count of the count).
Pandangan radikalisme Badiou ini juga berpengaruh pada pemikirannya tentang Yang politik. Politik sebagai prosedur pencapaian kebenaran. Jadi politik itu bukan hanya yang dipahami secara umum seperti sekarang ini. Politik telah menjauh dari ranah teoritis, apalagi filosofis. Politik sudah menjadi arena pembantaian, keburukan, dan ajang dusta.
Politik bagi Badiou adalah sebuah pemikiran. Pemikiran yang berorientasi pada pencapaian kebenaran. Dimulai dari dua pertanyaan subtansial bahwa apa kondisi yang dapat disebut politik? Dan apa yang bisa dilakukan dalam politik? Badiou mengerjakan proyek intelektualnya di ranah pemikiran politik.
Hendaknya pemeliharaan bahwa kejadian adalah politik, dan bahwa prosedur itu melibatkan suatu bagian kebenaran politik, hanya dibawah kondisi yang pasti. Kondisi yang menyinggung menuju materi atas kejadian, sampai ketak-berhinggaan, atau relasi menuju bagian dari situasi numerikalitas prosedur.[6]
Tesis Badiou pada ketak-berhinggaan (infinity) memiliki dimensi yang menarik. Hal ini bisa dipahami sebagai berikut. Sebuah kejadian adalah politik jika material adalah kolektif, atau jika kejadian hanya dapat menjadi rujukan sebuah multiplisitas kolektif. Kolektif adalah bukan konsep numerikal disini. Kejadian adalah ontologi kolektif menuju eksistensi yang menyediakan perangkat untuk membangun virtualitas semuanya.[7] Dengan ”pemikiran”, kebenaran dalam politik dapat diproseduralisasi yang dipertimbangkan secara subjektif. Pemikiran adalah nama dari subjek yang membentuk prosedur kebenaran. Penggunaan term kolektif dapat diketahui bahwa pemikiran adalah politik, dan politik adalah pemikiran.[8]
Ketak-berhinggaan (infinity) dalam optik Badiou juga dipahami melalui tiga mekanisme. Pertama, ketak-berhinggan keadaan, yakni panggilan pada peralihan menuju dimensi kolektif dari kejadian politik. Pemikiran yang diperuntukan bagi ”semua”. Kedua, ketak-berhinggaan dari status keadaan, yakni, panggilan untuk bertujuan represi dan alienasi karena hal ini mengandung pemikiran kontrol dari semua yang kolektif atau sub-bentukan dari situasi. Terakhir, kepastian preskripsi politik, di bawah kondisi kolektif yang bisa mengukur tiap bagian kekuasaan.[9]
Badiou menekankan operasi fundamental yang preskriptif yang diberikan dalam membangun kebenaran. Yang tidak lain adalah membangun kebenaran. Tetapi membangun yang tidak memakai paradigma instan yang menyandu dalam struktur negara modern. Kembalinya pemikiran politik, membangun kekuatan untuk menandingi kekuasaan negara dan mengambil alihnya bukan didasarkan unsur emosi dan uforia semata, melainkan pertautan filosofis dengan kekuasaan simpel representasi kolektif.
Oleh: Awaludin Marwan (Luluk)
[1] Alain Badiou. 2004. Infinite Thought: Truth and Return to Philosophy. Diterjemahkan dalam bahasa inggris oleh Oliver Feltham and Justin Clemens. Continuum.
[2] Alain Badiou. 2004. Infinite Thought: Truth and Return to Philosophy. p. 59-60
[3] Alain Badiou. 2004. Infinite Thought: Truth and Return to Philosophy. p. 61-63
[4] Peter Hallward. 2003. Badiou: A Subject to Truth.
[5] Alain Badiou. 2005. Being and Event. Diterjemahkan dalam bahasa inggris oleh Oliver Feltham. Continuum.
[6] Alain Badiou. 2004. Theoritical Writings. Di terjemahkan dalam bahasa inggris oleh Ray Brassier and Alberto Toscano. Continuum.
[7] Alain Badiou. 2004. Theoritical Writings. p. 154
[8] Alain Badiou. 2004. Theoritical Writings. p. 155
[9] Alain Badiou. 2004. Theoritical Writings. p. 158
Tidak ada komentar:
Posting Komentar