(Stanley Aronowitz & Henry A. Giroux, 1986: 31)
Politik Peminggiran Pendidikan
Pendidikan tidak menjadi subjek yang dipentingkan dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Dalam hiruk-pikuk pemilihan presiden dan wakil presiden sekarang, tidak ada satu calon pasangan pun yang menawarkan visi ideologis pendidikan Indonesia. Semuanya konsentrasi pada visi pembangunan ekonomi yang bahkan menimbulkan perdebatan antara ekonomi-politik neoliberalisme melawan ekonomi-politik kerakyatan. Tampaknya mulai dari awal kemerdekaan negeri ini, yang lebih dipentingkan adalah pembangunan struktur dan tatanan ekonomi saja, sedangkan pembangunan pendidikan, kebudayaan, dikesampingkan. Hal ini terlihat dari tiadanya strategi politik kebudayaan bangsa ini, termasuk strategi politik pendidikan yang secara substansial terdapat visi ideologi pendidikan yang dipilih. Beberapa kebijakan pendidikan yang diambil pemerintah selama ini agaknya pun tidak dilandasi dengan visi ideologis yang jelas. Dalam hal ini pendidikan masih saja diletakkan sebagai subordinasi dari pembangunan ekonomi dan transaksi politik nasional.
Pertama, ia menjadi subordinasi dari pembangunan ekonomi. Hal ini terlihat dari sekian banyak kebijakan pendidikan yanga diambil oleh pemerintah lebih mendasarkan pada pertimbangan ekonomi daripada visi ideologis pendidikan. Beberapa kebijakan pemerintah yang keluar belakang ini bahkan menunjukkan nalar neoliberalisme sebagai basis nalar pikirnya.
Undang-Undang No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) misalnya, ia lebih merupakan kebijakan neoliberalisme pendidikan ketimbang sebuah kebijakan pendidikan yang pro rakyat. Penarikan tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan publik yang dilegitimasi oleh UU No. 9/2009 tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (1) bahwa, “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat (2), “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”, termasuk juga secara substansial bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 dalam tujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kebijakan tersebut jelas-jelas visi ideologisnya adalah neoliberalisme.
Kedua, pendidikan menjadi komoditas politik. Saat ini sedang gencar-gencarnya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mensosialisasikan pendidikan gratis sekarang ini, yang dibuktikan dengan adanya BOS dan lainnya. Tentu hal ini sangat politis karena dilakukan pada saat-saat pergantian tampuk kekuasaan di republik ini. Demikian juga dengan keputusan tiba-tiba dari Dirjend Pendidikan Tinggi (Dikti) yang menyatakan akan menaikkan gaji dosen dan guru besar 100% beberapa waktu lalu. Kita dapat melihat fenomena serupa juga pada awal-awal 2008 adalah pemenuhan anggaran pendidikan 20%.
Pemenuhan amanat konstitusi itu pun dengan intrik memasukkan anggaran gaji guru ke dalam alokasi 20% anggaran pendidikan, padahal sebenarnya gaji guru sudah dijamin dalam UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas pasal 40 ayat (1) bahwa, “pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh: a. Penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai...”. Pemasukan anggaran gaji guru ke dalam alokasi anggaran pendidikan 20% yang disahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut justru mempermudah pemenuhan kewajiban memberikan anggaran pendidikan oleh pemerintah. Pemenuhan tersebut tidak sekadar tarik-ulur yang alot dan lama, namun juga dilakukan menjelang Pemilu 2009 yang tentu cukup strategis digunakan sebagai komoditas politik oleh partai berkuasa.
Mestinya pendidikan menjadi subjek yang dipentingkan dalam pembangunan bangsa. Kebijakan-kebijakan yang diambil dengan pertimbangan ekonomi dan demi transaksi politik merupakan pembodohan bangsa secara sistematis, walau mungkin tidak disadari oleh mereka pengambil kebijakan. Banyak yang sadar bahwa negara-negara seperti Jepang dan Malaysia dapat lebih maju daripada Indonesia padahal waktu tahun 50-an 60-an sama-sama berada dalam kondisi ekonomi dan politik yang amburadul, hal itu karena Jepang dan Malaysia mengutamakan pendidikan. Mereka telah menjadikan pendidikan sebagai subjek utama pembangunan bangsa. Kita belum.
Pendidikan sebagai Modal Budaya & Potensi Guru
Meminjam istilahnya Pierre Bourdieu, pendidikan merupakan modal budaya (cultural capital) bagi perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Pendidikan sebagai sebuah sistem dan dilembagakan dalam bentuk institusi sosial mendidik siswa-siswa terbaik bangsa, dengan membelajarkan siswanya yang terbaik, dengan materi pelajaran yang kontekstual dan mengakomodasi kebutuhan personal, dengan substansi visi ideologis kebangsaan. Pendidikan sebagai modal budaya bangsa Indonesia mesti memiliki visi ideologis tatanan masyarakat Indonesia seperti apa yang ingin dicapai dan manusia Indonesia seperti apa yang ingin dibentuk. Visi inilah yang kemudian ditransformasikan melalui kebijakan pendidikan oleh pemerintah, di antaranya adalah kurikulum, standar pendidikan nasional, dan lainnya.
Namun sayangnya hal ideal tersebut sulit untuk dipenuhi dalam konteks dan kondisi sistem pendidikan Indonesia saat ini, yang sebagaimana dikemukakan di depan berada dalam subordinasi pembangunan ekonomi dan transaksi politik. Logika neoliberalisme dan politik kekuasaan telah menafikan dan meminggirkan pendidikan sebagai subjek yang penting dalam pembangunan bangsa. Dengan demikian kita tidak dapat berhadap banyak pada sistem pendidikan nasional, karena jelas banyak kebijakan yang dikeluarkan kontraproduktif dengan visi ideologis pendidikan bangsa Indonesia yang mestinya kontekstual dengan kondisi sosial masyarakat. Pada sisi ini, yang diperlukan adalah perjuangan untuk terus mengkritik kebijakan-kebijakan tersebut, namun di sisi lain mesti mencari agen-agen perubahan yang dapat menjadikan pendidikan betul-betul sebagai modal budaya dalam membangun bangsa.
Para pemikir pendidikan dan pedagog telah menyatakan bahwa peran penting dari pendidikan adalah pada guru. Di sinilah guru mesti dapat menjadi intelektual (as intellectual) sebagaimana dinyatakan Aronowitz & Giroux, atau sebagai intelektual organik (organic intellectual) dalam istilahnya Gramsci, dan intelektual spesifik (specific intelllectual) dalam istilahnya Foucault. Dalam gagasan Aronowitz dan Giroux terutama, guru memiliki peran besar dalam menggerakkan pendidikan tidak sekadar sebagai aktivitas transfer pengetahuan an sich, lebih dari itu adalah pendidik yang mestinya mampu menjadi motivator bagi perubahan sosial masyarakat. Melihat pada kondisi sosial masyarakat Indonesia sekarang ini, ketika kita tidak dapat berharap terlalu banyak dari sistem pendidikan yang berada dalam subordinasi ekonomi dan politik, maka guru adalah potensi besar untuk melakukan perbaikan pendidikan secara substansial, atau dalam terminologi yang provokatif adalah guru sebagai penggerak revolusi pendidikan!
Hal ini karena semua komponen pendidikan sebenarnya tidak ada artinya tanpa ada sentuhan dari guru. Kurikulum dan kebijakan pendidikan lainnya adalah “teks” mati yang baru dapat “berbicara” ketika “dibaca” dan dihidupkan oleh guru. Perubahan kurikulum pendidikan nasional sampai pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diimplementasikan dengan kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada pelaksanaannya mandul, karena guru tidak banyak berubah strategi pembelajarannya, orientasi posisinya dengan siswa dalam paradigma yang berpusat pada siswa (student centered), dan lainnya. Hal ini menandaskan bahwa betapa hebatnya sebuah kurikulum dan kebijakan pendidikan dibuat, jika tidak ada perubahan pada diri guru, maka semuanya akan sia-sia belaka. Demikian juga dalam upaya revolusi pendidikan Indonesia.
Guru sebagai Gerakan Politik
Para pendidik kritis seperti Paulo Freire, Stanley Aronowitz, Henry A. Giroux, Michael W. Apple, dan lainnya telah mengungkapkan bahwa guru semestinya dapat menjadi gerakan politik. Namun bukan politik praktis, atau politik kekuasaan, melainkan politik kebudayaan (cultural politic) sebagai upaya masif untuk melakukan perubahan sosial di masyarakat. Gagasan guru sebagai gerakan politik adalah gerakan melawan subordinasi pembangunan ekonomi dan transaksi politik atas pendidikan. Dengan demikian, guru sebagai gerakan politik harus melawan upaya dari pemerintah atau siapapun yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas politik seperti yang terjadi sekarang ini. Pendidikan tidak boleh menjadi batu loncatan karier politik oknum tertentu. Gagasan ini mesti menjadikan guru berani melakukan tekanan politik kepada penguasa untuk menjadikan pendidikan sebagai subjek yang utama dalam pembangunan bangsa, di atas determinan politik dan politik.
Hal ini dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan memanfaatkan organisasi-organisasi guru, baik yang formal maupun nonformal. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dalam hal ini tentu mesti mereformasi diri, dan semakin mengintensifkan gerakan-gerakan guru pada organisasi nonformal yang relatif tidak terikat pada penguasa, seperti Klub Guru, Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), dan lainnya. Tidak dapat dilupakan adalah kelompok kerja guru mata pelajaran, dan lainnya. Kelompok-kelompok tersebut tidak semestinya sekadar menjadi ajang pengembangan bahan ajar saja, lebih dari itu mesti menjadi blok historis (historical bloc) dalam istilahnya Gramsci, yakni kelompok yang menjadi pioner perubahan, dengan melakukan kajian-kajian intelektual dan kebijakan pemerintah.
Hal paling substansial dalam jangka panjang guru sebagai gerakan politik kebudayaan ini adalah pendidikan guru. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) menjadi institusi pendidikan yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas guru yang diluluskannya. Pada fase pendidikan guru inilah, guru mesti disadarkan mengenai relasi kuasa politik dan modal dalam pendidikan, mengenai subordinasi pendidikan oleh ekonomi dan transaksi politik. Kurikulum pendidikan guru mesti memasukkan lebih banyak materi sosiologi pendidikan baru (The New Sociology of Education) yang memaparkan mengenai ideologi pendidikan, politik pendidikan, gerakan politik guru, dan lainnya dengan mengacu pada gagasan-gagasan besar para pendidik kritis seperti Apple dan Giroux.
Ed Khan, penulis...