online degree programs

Senin, September 07, 2009

Membaca Pendahuluan Buku Adorno


Cara menghadirkan pemikiran Adorno tentang industri budaya dalam konteks kontemporer merupakan hal yang paling menarik di dalam pengantar buku Adorno yang berjudul cultural industrial ini. Gagasan Adorno dihadirkan untuk menyambut kondisi posmodern. Hal ini menandakan kemungkinan gagasan Adorno masih relevan dipergunakan untuk memandang problem budaya dewasa ini.

Kritik Adorno pada budaya telah lama berlangsung semenjak abad ke-19. Jauh sebelum munculnya posmodern. Tetapi gagasan Adorno ini cukup jeli dalam menyingkap patologi dalam modernitas. Pada hal yang sama, teori kritis Adorno memiliki titik temu dengan cara kerja posmodern. Yakni kritik pedasnya pada modernitas.

Dalam pengantar inilah, J. M. Bernstein menemukan beberapa berbedaan teknis dan subtansial. Perbedaan teknis, misalnya pada orientasi masing-masing paham. Tradisi kritis lebih menyukai kritik pada modernitas, tetapi masih berharap peneruskan proyek modernisme dari pencerahan. Sedangkan bagi posmodern, ingin mengambil alih nahkoda modernisme pada rekonstruksi poshumanisme dan dehiperrealitas.

Perbedaan subtansial antara teori kritis dan posmodern yang berpeluang besar dihadapkan secara diametral adalah posisi posmodern yang disinyalir sebagai penganut paham neokonservatisme. Untuk menjelaskan pernyataan ini kita memulai dari kritik Adorno pada seni misalnya. Adorno masih memakai oposisi biner yang membedakan seni kualitas tinggi dan rendah. Dalam konteks inilah, Adorno bekerja, bahwa seni kelas rendah hanya diperuntuk bagi devisi buruh. Rakyat kecil tak mampu menikmati seni kelas tinggi. Mereka tak mampu membayar, hanya membeli barang tiruan. Bahkan hingga kenikmatan pada sebuah lagu. Lagu kelas tinggi selalu bertemakan kebahagiaan dan kebebasan yang itu sangat tidak terdapat dalam kategori rakyat miskin.

Dengan cukup puitis J. M. Bernstein menulis demikian: lagu yang baik menceritakan semua tentang kebahagiaan melalui sentuhan kasih sayang dan masa depan yang penuh arti [...].[1] Dan buruh pekerja itu, tak mampu menjangkau kebahagiaan berserta janji-janjinya. Kebahagiaan hanyalah milik seni kualitas tinggi yang dinikmati oleh kalangan borjuis.

Antagonisme kelas itu membuat konstruksi diotomis antara seni kelas tinggi dan seni kelas rendah. Oposisi biner inilah yang ditolah oleh tradisi posmodern. Posmodern lebih menyukai kontuinitas, pluralitas, heterogenitas, dan menegasikan oposisi biner.[2] Penegasian oposisi biner ini dalam pandangan J. M. Bernstein menjadikan posmodern menerima labelnya, yakni: kelompok neokonservatisme. Karena parameternya dalam melakukan penilain pada akhirnya tidak jelas. Oposisi biner menyediakan pilihan penilai: antara baik atau buruk, benar atau salah, tepat atau tidak tepat. Sedangkan, posmodern tidak jelas bagaimana cara kerja penilaiannya.

Hal ini semakin diperkokoh dengan karakteristik posmodern di dunia arsitek. Posmodern mengkritisi ragaan modernitas yang minimalis, berkenaan dengan kehematan, dan anti-ornamen. Posmodern berusaha menampilkan sketsa yang menampilkan kembali estetika tradisional. Dari sinilah, nampak terlihat keperpihakan posmodern pada romantisisme yang menggiring pada pelegitimasian keberadan kaum kapitalis-penguasa yang jauh dari proyek emansipatoris. Zaman klasik, penguasa tampil absolute, dan semuanya menumpuk di tangannya. Termasuk seni ornamen yang banyak kita jumpai di kerajaan-istana, bukan rumah warga biasa.

Melalui monistis, posmodern mudah ditumpangi oleh rejim kapitalisme lanjut yang bersembunyi dibalik keindahan, kebahagiaan, dan pesona manipulatif. Penyangkalan yang menjadi basis monistis posmodern malah justru menenggelamkan budaya massa dalam sebuah esktase.

Gaya hidup dalam terminologi industri budaya. Adalah tranformasi kategori estetis yang menuniverlisasikan ekspansi masyarakat konsumer [...].[3] Posmodern memang melihat ini dengan jernih, tetapi posmodern terjebak dalam skeptisisme total.[4] Ia membuat kehidupan kehilangan maknanya. Ia seolah-olah berpasrah diri.

Teori kritis, yang mencoba mengiris-iris paham liberalis-kapitalis tetapi masih mempercayai adanya masa depan yang lebih baik. Sedangkan posmodern, tidak. Semuanya bermasalah. Semuanya berisikan penipuan. Semuanya hasil simulasi.

Begitulah yang terjadi antara teori kritis dan posmodern, jalinan pertarungan dan perdamaian diantaranya masih dalam diskursus yang hanggat. Relevansi gagasan Adorno dengan posmodern menandakan masih layaknya gagasan Adorno ini dipakai dalam wacana kontemporer. Namun di dalam pendahuluan J. M. Bernstein tidak melihat gagasan Adorno yang mengkonstruksikan gaya filsafat kesadaran (Bewuβtseinsphilosophie) atau filsafat subjek (Subjektsphilosophie) ini dalam tradisi frankfurt sendiri.

Buku yang ditulis bersama Horkheimer Dialektik der Aufklärung melahirkan konsepsi yang luar biasa tentang rasio praktis yang dikembalikan otonomi individu yang kritis terhadap determinasi kehidupan sosial dan historisnya. Dan dari sanalah, mereka juga turut berinvestasi sehingga melahirkan filsof besar saat ini, Jürgen Habermas. Karya-karya Habermas muda semasa ia menulis buku Habilitationsschrift sampai Theorie des kommunikativen Handels, yang masih bercorak tradisi franfurt yang kental. Meskipun dalam perkembangannya, MoralBewuβtseins und kommunikativen Handels, Erläuterungan zut Diskursethik, dan Faktizität und Geltung, Habermas menggeser subjektivitas itu menuju intersubjektivitas melalui proseduralisme formasi diskursif.

Habermas sebgai filsof besar yang lahir dalam tradisi frankfurt luput dari bacaan J. M. Bernstein. Pengantar itu lebih banyak berbicara tentang diskripsi Adorno yang dibenturkan dalam wacana kotemporer dan posmodern. Sementara di dalam tradisi franfurt sendiri tak dilihat secara utuh. Namun, kita melihat usaha yang luar biasa, sebab mengusahakan teori sosial yang sudah lama untuk dihadirkan dalam problem saat ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Dan J. M. Bernstein telah melakukannya dengan baik.

Jika disederhanakan, Adorno dalam pengantar yang ditulis oleh J. M. Bernstein, sepertinya hendak mengatakan bahwa proyek emansipatoris Marx itu tak hanya bisa dijawab oleh wilayah ekonomi dan politik sebagaimana yang dipahami oleh Marxian klasik. Bahwa aksi revolusioner haruslah dioperasikan untuk menempatkan kelas buruh berkuasa.

Usaha Adorno yang menempatkan semangat antagonisme kelas ke ranah yang lebih luas inilah yang sering menghasilkan salah tafsir, bahwa Adorno seolah-olah hendak menegasikan kaum ploretariat. Padahal tidak. Adorno memang tidak menyukai aksi revolusioner yang berbasis aksi konfrontatif kaum buruh. Tetapi tidak kemudian Adorno meninggalkan perangkat Marxian berupa antagonisme kelas. Bagi Adorno antagonisme kelas itu beroperasi lebih luas, yakni di bidang ideologi, sejarah, pengetahuan, seni dan budaya.

Kita akan mengupas satu-persatu wilayah ideologi, sejarah, pengetahuan, seni dan budaya yang dipikirkan Adorno melalui pengantar Bernstein. Di balik jalan yang dilalui oleh liberalis-kalipalis lanjut, ternyata ideologi semacam facisme pun beroperasi dengan cara yang sama: yakni intregasi dan unifikasi.

…facism represented the realization of Western rationality […] work of domination through integration and unification […].[5] Industri budaya bersamaan dengan kejayaan facisme telah menciptakan budaya sebagai realisasi kebenaran untuk semuanya menuju gratifikasi yang penuh hasrat menyingkirkan realitas yang sesungguhnya disambungkan secara negatif melalui integrasi masyarakat. Artinya, bahwa realitas manipulatif berusaha dihadirkan kepada masyarakat untuk menggerakan masyarakat dan membentuk ideologisasi masyarakat. Secara langsung maupun tak langsung, industri budaya telah membuahkan integrasi berjalan secara efektif di dalam masyarakat yang ekuivalen dengan unifikasi represif dalam Negara demokrasi liberal.

Kalau kita ingin mengetahuai, bahwa sebenarnya ideologisasi juga tak lepas dari kontribusi buruknya tradisi rasio instrumental. Kontribusi dunia pengatahuan yang didominasi oleh rejim rasio instrumental. Rasio instrumental yang dipergunakan untuk mengontrol dan mengendalikan realitas sosial. Lihat saja, fenomena polling yang dewasa ini meramaikan wacana ilmu sosial saat pemilu berlangsung. Ilmu sosial hanya direduksi menjadi polling yang bisa mengkuantifikasikan politik agar realitas sosial mudah dikendarai.

Rasio instrumental dianggap oleh Adorno sebagai tukang atur yang kolot di ranah produksi pengetahuan. Meski kita kesulitan mencari titik bidik rasio instrumental di dalam pengantar buku tersebut, karena tidak disebut tokohnya yang bisa digunakan kunci eksplanasi. Maka kita menghadirkan nalar pikir Auguste Comte untuk mewakili rasio instrumental ini.

Bagi Adorno, pengetahuan saat itu tidak mengedepankan devisi buruh. Di dalam psikologi, sosiologi, sejarah dan filsafat. Devisi buruh harusnya dimasukan dalam pengetahuan bagi proyek emansipatoris, tetapi pengetahuan dewasa ini mencerabutkan devisi buruh dari materi pengetahuan. Pengetahuan, itu ”tidak netral” dan ”tidak bebas nilai”.

Pengetahuan yang dibangun oleh rasio instrumental juga menegasikan subjektivitas dan terlalu hanyut di dalam objektivitas (objective characteristics). Di balik Comte mengemukakan hirarkhis ilmu pengetahuan positif dimulai dari matematika menuju ilmu alam, baru kemudian merambah ke ilmu sosial. Comte dengan tegas, menyingkirkan psikologi dari ilmu pengetahuan. Karena tidak mungkin bagi ilmuwan menyilidiki dirinya sendiri.[6]

Hal inilah yang kemudian dikritik oleh Adorno bahwa subjektivitas tak bisa dilepaskan sama sekali dari ilmu pengetahuan. Bahkan ia sendiri mengembangkan psikoanalisis Freud dalam membangun teori kritisnya. Teori kritis yang banyak kita jumpai dalam diskursus ilmu sosial. Dan di ranah ilmu hukum melahirkan apa yang disebut critical legal studies. Tentang relevansi antara rasio instrumental yang dianggap sebagai teori konvensional, teori kritis, dan studi hukum kritis dapat dilihat di bawah ini.

Teori Konvensional, Teori Kritis, dan Teori Hukum Kritis

Teori Konvensional

Teori Kritis

Critical Legal Study

Dasar

Diterima tanpa kritik

Kecurigaan

Hukum harus dicurigai

Subjek

Universal

Kelas kapital/ penguasa yang membentuk ilmu pengetahuan untuk menindas kelas ploretariat

Hukum sarana penindasan

Sifat

Netral

Menyingkap kedok kepentingan

Hukum dibersihkan dari kepentingan penguasa

Kebenaran

Objektif, kebenaran pada objek

Subjektif, kebenaran ada pada subjek

Kebenaran ada di luar praktek dan regulasi hukum negara

Bacaan

A Historis

Historis

Sejarah hukum berbasis materialisme historis

Penilaian

Bebas nilai

Nilai-nilai paksaan penguasa

Hukum tak bebas nilai

Hukum hanyalah sarana bagi kekuasaan bermain-main dengan tenangnya.[7] Teori kritislah yang menegaskan dikotomi hukum dan kekuasaan.[8] Kritik harus ditujukan pada bentuk formalisme dan objektivisme sebagai doktrin absolute dalam ilmu hukum.

Setelah pengetahuan, pandangan pada sejarah juga disinggung dalam pengantar Bernstein. Pada titik yang sama, pandangan Adorno dengan Walter Benyamin cukup serasi. Yakni kritiknya pada sejarah dan liberalisme. Kritik pada sejarah merupakan hal yang paling sentral di dalam tradisi kritis dan pikiran Walter Benyamin.

Adorno menawarkan cara membedah pengetahuan haruslah dikaitkan dengan konteksnya. Ketidak-mungkinan kritisisme budaya juga dilatar belakangi oleh ketidak-mampuan ilmuwan membaca sejarah. Ketidak mampuan ilmuwan membaca konteksnya, sehingga ia mengalami diskonten.[9] Ia tak mampu menggali kebenaran di dalam pengetahuan yang sudah mapan.

Hampir senada dengan Walter Benyamin yang berjuang melawan ”lupa”. Upaya penyelamatan pada ingatan masa lalu dan menyusunnya kembali fragmen-fragmen sejarah yang ditenggelamkan dan dibungkam agar utuh kembali. Sejarah merupakan optik yang tidak boleh ditinggalkan dalam pengetahuan.

Lalu, apa yang membedakan antara Adorno dengan Benyamin dalam hal ini. Benyamin masih tampil dengan mitologi Yahudi, dengan pengharapan pada messiah sebagai juru selamat atas sejarah. Sedangkan Adorno menegasikan total unsur mistisisme tersebut. Mistisisme dan teologi bagi Adorno telah selesai dikupas pada masa pencerahan. Atau mungkin pengaruh yang kuat tradisi materialisme Marx.

Ya, yang terpenting sekarang ini adalah kritik atas nama ”kemajuan (proggress)” yang dibawa oleh liberalis-kapitalisme lanjut harus dilancarkan. Dengan dalih ”kemajuan” liberalis-kapitalisme lanjut menuntut agar sejarah dilupakan, karena yang ada hanya pandangan menatap masa depan. Namun dibalik instruksi akan kemajuan itu, liberalis-kapitalis mengerjakan sejarahnya dengan homogenitas, dan narasi besar sejarah.

Setelah mengupas sejarah, tiba saatnya bagi membedah seni. Seni, seperti yang pernah dirumuskan oleh Adorno ternyata juga tak menjamin netralitas dan objektivitas. Seperti yang kita singgung di awal tadi, bahwa adanya dikotomi seni kualitas tinggi dan kualitas rendah yang menandakan diferensiasi kelas konsumer seni. Maka tak ubahnya seperti pandangannya Nietzsche[10] yang hendak mengganti paradigma sains dan filsafat yang dianggap sebagai hakim gadungan pengetahuan, untuk digantikannya dengan seni. Perhatian pada seni yang sama-sama membuat mereka mencari sesuatu di dalam seni tersebut. Dan, dua-duanya pada akhirnya menemukan patologi di balik rasionalitas dan keindahan seni itu biang kerok, yakni: kekuasaan.

Lebih lanjut, Adorno sensitif dengan perkembangan teknologi yang memuat seni, umpamanya televisi. Barangkali, di zaman Adorno belum ada televisi yang secanggih saat ini. Tapi kritisisme pada media transformasi seni ini yang membuat pemikirannya masih relevan untuk saat ini. Adalah skenario yang dibangun dengan sengaja untuk mengendalikan kaum pekerja di dalam pabrik-pabrik dan rumah-rumah sepulang buruh dari kerja. Yakni kenikmatan yang dikonstruksi untuk memanjakan dan membentuk benak buruh agar mematuhi sistem yang sudah ada. Masyarakat dibuat tidak bisa membedakan antara fakta dan fiksi.

Pandangannya ini mungkin hampir mirip dengan Baudrillard. Bagi Baudrillard dunia maya, dunia mesin teknologi informasi, telah menjadi kenyataan dan realitas yang telah mengkonstruksi budaya massa modern. Kenyataan itu ada di dalam sebuah televisi, internet, media, dst. The entry into a simulated, virtual or cybernetic world of existence. [11] Baudrillard juga mempercayai bahwa efek dari seni juga dipergunakan dalam teknik menyempurnakan makna dalam situasi hiperrealitas.[12]

Sekarang tiba saatnya bagi membaca karakter budaya menurut Adorno dalam pengantar Bernstein. Pertama, Adorno melihat patologi budaya yang menyembunyikan nalar instrumental di baliknya.[13] Ia menuntut unifikasi dan integrasi yang pada akhirnya berlabuh pada intervensi yang memaksa universalitas dan objektivitas.

Kedua, budaya sudah masuk dalam logika industri. Budaya sudah merangkai skema alur produksi, reproduksi, dan sensitif pada kehidupan konsumsi massa. Dan, logika itu masih di bawah bayang-bayang kebebasan integral a la kapitalisme lanjut. Ketiga, produksi budaya adalah sebuah komponen integrasi dari ekonomi kapitalis sebagai sebuah keastuan. Cultural production is an integrated component of the capitalist economy as a whole.[14] Produksi budaya tak bisa dilepaskan dalam cengkeraman ekonomi kapitalis.

Keempat, budaya konsumeris merupakan degradasi budaya. Berbagai budaya berbagi kesalahan dalam membentuk masyarakat. Yang berasal dari ketidak-adilan telah dimanfaatkan untuk melancarkan upaya yang saling ekspansif.

Oleh : Awaludin Marwan

Disampaikan pada close reading, bab introduction buku ”the culture industry” di depok. Terima kasih diucapkan pada Toufiq, Edi Subkhan, Elin, dan Ikhsan dalam mengapreasi dan menginspirasi tulisan ini.



[1] Theodor W Adorno. The Culture Industry. Yang diedit dan diterjemahkan dalam bahasa inggris oleh J. M. Bernstein. Routledge. London-New York. 1991. p. 6

[2] Wayne Gabardi. 2001. Negotiating Postmodernism. University of Minnesota Press. London p. 45

[3] Theodor W Adorno. The Culture Industry ….p. 23

[4] …..Criticizing the nihilism of capitalism; questioning the social management of ordinary experience; generating utopian visions in which art is integrated with the social fabric of modern life. Stuart Sim. 1998. The Routlegde Companion to Postmodernism. London-New York. p. 91

[5] According to Adorno the division of labour between disciplines such as sociology, philosophy, history and psychology is not contained in or dictated by their material, but has been forced on them from the outside. p. 4. the telos of instrumental rationality, the rationality first licensed by the drive for self-preservation, is the silencing of reflection in the name of the illusory universality pervaded by the culture industry. Instrumental rationality in the form of the culture industry thus turns against reason and the reasoning subject. This silencing of reflection is the substantial irrationality of enlightened reason. Theodor W Adorno. The Culture Industry ……p. 10

[6] Auguste Comte. The Positive Philosophy. Batoche Books, Diterjemahkan dalam bahasa inggris oleh Kitchener (2000, London). p. 27

[7] Allan C. Hutchinson. 1989. Critical Legal Studies. Rowman&Littlefield Publisers, Inc. New Jersey. P. 303

[8] Richard D. Schewartz. Law, Violence, and Civil Right. Dalam Richard D. Schewartz&Jerome H. Skolnick. 1970. Society and the Legal Order: Cases and Materials in the Sociology of Law. Basic Books Inc Publiser. New York

[9] In general, the position of a critic of culture is a dubious one; as critic he reveals a discontent with the very civilization to which he owes his discontent. Theodor W Adorno. The Culture Industry …..p. 16

[10] Theodor W Adorno. The Culture Industry …..p. 8

[11] David Banash. 2003. Review: Reading Baudrillard. Sf-th inc. P. 5

[12] Technical perfection can be part of meaning, […] it is an effect of art. Jean Baudrillard. Simulacra and Simlation. Translated by Sheila Faria Glaser. Michigan. 33

[13] Theodor W Adorno. The Culture Industry …..p. 2-12

[14] Theodor W Adorno. The Culture Industry …..p. 9

Tidak ada komentar: