oleh:
Muhammad Taufiqurrohman*
"…he (the prisoner) is the object of information, but never a subject in communication"
(Michel Foucault, Discipline and Punish)
"Ia sadar ada sebuah "kekuasaan tak terlihat" yang dapat "mencabut" dirinya dari dunia perFacebookan kapanpun kekuasaan itu mau. Seperti Alicia Istanbul, tanpa ampunan, pemberitahuan dan permohonan penundaan pencabutan."
Foucault menghubungkan konsep pengetahuan dan kekuasaan. Ia percaya bahwa segala pengetahuan (baik itu tentang kegilaan, seksualitas, hukuman, dsb) bersifat kontingen. Artinya, semua pengetahun tersebut ditentukan oleh konstruksi sosial masyarakat yang ada. Oleh karena itu, pengetahuan pada dirinya sendiri sebenarnya tidaklah pernah netral seperti yang selalu diumumkan oleh modernisme dengan paradigma positivismenya. Pengetahuan merupakan hasil konstruksi masyarakat yang tidak pernah terlepas dari kepentingan dan oleh karenanya tidak pernah bebas nilai.
Dari sinilah Foucault dalam Discipline and Punish mengemukakan tentang penjara Panoptikon yang berfungsi sebagai sistem pengawasan yang efektif. Foucault menganggap penjara Panoptikon merupakan sebuah konsep yang memadukan antara pengetahuan dan kekuasaan. Sederhananya, Panoptikon adalah mekanisme produksi kekuasaan melalui internalisasi pengawasan. Kita tahu bahwa pengawasan selalu mensyaratkan pengetahuan. Seorang bapak yang mengawasai anaknya pasti juga mengetahui dan menguasai anaknya. Soalnya adalah jika ternyata si bapak hanya sekali mengawasi dan memergoki anaknya pacaran tetapi ternyata si anak selalu merasa terus diawasi oleh bapaknya dimanapun dia berada saat pacaran. Inilah panoptikon. Lalu bagaimanakah sebenarnya Panoptikon tersebut? Ada baiknya kita menengok sejarah terbentuknya konsep penjara Panoptikon.
Sebenarnya, Foucault belajar dari proposal Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarian Inggris yang juga seorang kriminologi klasik. Bentham lahir di Houndsditch, London pada tahun 1750 dan meninggal pada tahun 1832. Panoptikon sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti ”semua terlihat” (all-seing). Ide awal konsep Panoptikon ini bermula dari kunjungan Bentham kepada adiknya yang seorang insinyur, Samuel. Dalam mengerjakan reservasi kapal yang sangat besar, Samual membangun semacam tower yang tinggi di tengah-tengah kapal untuk mengawasi para pekerja. Dari tower ini, semua pekerja terlihat dengan jelas oleh para pengawas. Pada tahun 1785, Bentham kemudian memulai proyek proposal penjara Panoptikon ini.
Panoptikon, dalam proposal Bentham, merupakan penjara yang dibangun bertingkat dan melingkar. Ditengah-tengah penjara kamar-kamar sel yang mengeliling tersebut dibangunlah sebuah menara tower. Dari dalam menara tersebut penjaga dapat melihat seluruh gerak-gerik tawanan. Namun, tahanan yang berada di dalam sel tidak pernah bisa melihat penjaga dalam menara. Hal ini dikarenakan cahaya yang masuk dari atap penjara bisa masuk sampai ke seluruh sel tetapi tidak masuk dalam menara. Akibatnya tahanan selalu merasa diawasi oleh penjaga walaupun pengawasan sudah tidak berlangsung (Munday:1994). Inilah inti dari konsep penjara Panoptikon, yaitu mekanisme produksi kekuasaan melalui internalisasi pengawasan.
Kata kunci untuk memahami ungkapan Foucault di atas terletak pada kata subyek, obyek, informasi dan komunikasi. Dalam sistem Panoptikon tawanan hanya menjadi obyek informasi dan tidak pernah menjadi subyek dalam komunikasi. Subyek diandaikan hanya berupa penguasa sistem, dalam hal ini disimbolkan penjaga. Tawanan tidak bisa melakukan komunikasi yang memungkinkannya untuk berbicara dengan penjaga ataupun dengan sesama tawanan. Hal ini dikarenakan internalisasi pengawasan yang sudah melekat dalam kesadaran tawanan.
Dengan perumpamaan sistem Panoptikon yang demikian kita bisa mengganti kata ”tawanan” dengan berbagai macam istilah; siswa, pasien, tawanan, warga, mahasiswa, dosen, aktivis, buruh, dll dan dalam tingkat tertentu adalah instansi-instansi misalnya instansi Fakultas X di bawah pengawasan Universitas Y atau negara Indonesia dibawah imperialisme Amerika dan PBB, dan lain-lainl). Lalu kita bisa menggantikan kata ”Panoptikon” dengan berbagai macam sistem produk modernitas; sekolah, rumah sakit, penjara, negara, perusahaan, organisasi multinasioanal, dan lain-lain. Dalam beberapa hal, pembicaraan mengenai sistem tersebut dalam konteks masyarakat kita sekarang tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan mengenai sistem kapitalisme sebagai sebuah sistem Panoptikon.
Yang bisa kita lihat dari gambaran di atas adalah posisi subyek-obyek yang tidak seimbang. Foucault mensinyalir bahwa melalui internalisasi pengawasan semua sistem produk modernisme telah mencengkeramkan kekuasaannya kepada para manusia-manusia di bawah sistem tersebut dengan memperlakukannya hanya menjadi sekadar obyek informasi. Kekuasaan berdasarkan internalisasi pengawasan tersebut pasti menimbulkan efek negatif. Salah satunya berupa kekerasan atau semacam penindasan (meskipun dalam tataran simbolik). Visker (2008:13) mengutip Foucault yang menyatakan dengan teramat jelas potensi kekuasaan tersebut;
”We must cease once and for all to describe the effects of power in negative terms: it ‘excludes’, it ‘represses’, it ‘censors’, it ‘abstracts’, it ‘masks’, it ‘conceals’,. In fact, power produces; it produces reality; it produces domains of objects and rituals of truth. The individual and the knowledge that may be gained of him belong to this production”
Demikianlah sistem panoptikon yang menghasilkan kekuasaan dapat mengakibatkan represi, eksklusi, sensor dan lain sebagainya yang bernada penindasan simbolik kepada manusia-manusia yang dibawah sistem tersebut. Manusia-manusia dibawah semua sistem Panoptikon (sekolah, penjara, perusahaan, dll) direduksi menjadi hanya sekadar obyek dan bukan diberikan posisinya yang semula yakni obyek. Oleh karena itu, sebenarnya istilah yang tepat menurut penulis bagi mereka yang dibawah kendali sistem-sistem Panoptikon adalah “subyek yang diobyekkan”.
Dari sekilas gambaran mengenai teori panoptikon Foucault. Dengan kacamata teori itulah penulis akan membedah fenomena Facebook di Indonesia. Bagiamanakah internalisasi Panoptic facebook (pengawasan) berlangsung, sensor, keberpihakan, dan kekuasaan atas informasi dalam Facebook tersebut. Juga, bagaimanakah posisi Facebook dalam arena kontestasi ideologi yang berlangsung di dunia dan di Indonesia pada ksususnya. Terakhir, berkaitan dengan polemik Facebook terkait dengan “fatwa haram” Facebook oleh sekelompok Ulama (bagian 2).
FACEBOOK: SEJARAH KECIL
Facebook adalah situs web jejaring sosial yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 dan didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang lulusan Harvard dan mantan murid Ardsley High School. Keanggotaannya pada awalnya dibatasi untuk siswa dari Harvard College. Dalam dua bulan selanjutnya, keanggotaannya diperluas ke sekolah lain di wilayah Boston (Boston College, Boston University, MIT, Tufts), Rochester, Stanford, NYU, Northwestern, dan semua sekolah yang termasuk dalam Ivy League. Banyak perguruan tinggi lain yang selanjutnya ditambahkan berturut-turut dalam kurun waktu satu tahun setelah peluncurannya. Akhirnya, orang-orang yang memiliki alamat surat-e suatu universitas (seperti: .edu, .ac, .uk, dll) dari seluruh dunia dapat juga bergabung dengan situs jejaring sosial ini.
Selanjutnya dikembangkan pula jaringan untuk sekolah-sekolah tingkat atas dan beberapa perusahaan besar. Sejak 11 September 2006, orang dengan alamat surat-e apa pun dapat mendaftar di Facebook. Pengguna dapat memilih untuk bergabung dengan satu atau lebih jaringan yang tersedia, seperti berdasarkan sekolah, tempat kerja, atau wilayah geografis.
Hingga Juli 2007, situs ini memiliki jumlah pengguna terdaftar paling besar di antara situs-situs yang berfokus pada sekolah dengan lebih dari 34 juta anggota aktif yang dimilikinya dari seluruh dunia. Dari September 2006 hingga September 2007, peringkatnya naik dari posisi ke-60 ke posisi ke-7 situs paling banyak dikunjungi, dan merupakan situs nomor satu untuk foto di Amerika Serikat, mengungguli situs publik lain seperti Flickr, dengan 8,5 juta foto dimuat setiap harinya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Facebook)
FACEBOOK: MELAMPAUI PANOPTIKON
Tulisan sederhana ini hanya ingin menunjukkan beberapa hal yang menunjukkan Facebook dan sistem panoptikon yang dijalankannya. Sepeti yang sudah dijelaskan di bagian terdahulu, bahwa inti dari konsep Panoptikon adalah kuasa atas informasi oleh satu pihak. Di dalam penjara Panoptikon, penguasa seluruh informasi adalah sang penjaga sedangkan tawanan tidak pernah mengetahui informasi. Oleh karena itu, tawanan tidak pernah menjadi subyek komunikasi.
Perumpamaan penjaga dan tawanan dapat kita perlebar ke ranah sosial yang lebih luas, khususnya dalam fenomena Facebook. Dalam Facebook dapat kita bagi menjadi dua pihak, yaitu pihak pemilik Facebook sebagai penjaga dan pihak pengguna Facebook sebagai tawanan. Sebagai penjaga Pemilik facebook memiliki kekuasaan yang tak terkontrol untuk mengawasi para pengguna. Bagaimanakah semua sistem panoptikon itu dimungkinkan terjadi dalam Facebook?
Kuasa atas alamat E-mail dan Password User
Seperti kita ketahui bahwa syarat pertama untuk dapat mengakses Facebook adalah melakukan pendaftaran dengan menyertakan alamat E-mail sekaligus password calon pengguna. Dari proses awal ini saja kita dapat mengetahui bahwa Facebook sangat berpotensi menguasai pengawasan atas segala informasi para penggunanya. Dengan memegang semua alamat email dan password para penggunanya, Faecbook dapat mengontrol seluruh informasi yang berkaitan dengan penggunanya. Facebook tidak hanya dapat memblokir tapi juga dapat mengetahui pesan-pesan (yang bisa jadi rahasia) antar anggotanya.
Dalam perumpamaan panoptikon, Facebook sebagai penjaga mengendalikan seluruh informasi dengan menguasai email dan password. Sedangkan pengguna sebagai tawanan tidak mengetahui atau tidak dapat mengontrol apa yang dilakukan Facebook terhadap mereka. Kekuasaan dalam bentuk kontrol tersebut dipegang secara bulat oleh Facebook, sedangkan pengguna sama sekali tidak punya kekuasaan apapun untuk mengontrol gerak-geraik Facebook terhadap dirinya, misalnya jika ada pemblokiran. Beberapa contoh kasus di bawah ini adalah contoh tentang kekuasaan Panoptik Facebook atas penggunanya.
Kasus Sebuah Nama yang ”Aneh”: Blokir Facebook atas Alicia Istanbul
Facebook mempunyai peraturan yang mengatakan bahwa seseorang yang mendaftar Facebook harus mencantumkan nama asli dan lengkap. Nama yang terlihat tidak asli dan tidak lengkap tidak akan diterima sebagai anggota. Namun seiring berkembangnya Facebook hal tersebut menjadi saedikit problematik. Apalagi setelah sekarang Facebook telah menjangkau hampir ke seluruh wilayah dunia. Nama yang semakin beragam semakin sulit untuk ”didisiplinkan”. Definisi sebagai ”aneh” dan ”lengkap” semakin sulit untuk diputuskan. Salah satu kasus yang cukup heboh adalah kasus nama ”Alicia Istanbul” yangs empat dilansir oleh media massa Amerika.
Alicia Istanbul, begitulah nama yang diberikan oelh kedua orang tuanya. Pada sebuah Rabu pagi hari Alicia mendapati bahwa dia telah terputus dari jaringan Fcebook yang sudah dia gunakan sejak tahu 2007. Ibu rumah tangga ini tidak hanya kehilangan kotak ats 330 teman-temannya, tetapi juga kehilangan lembar-lembar halaman bisnis desain permata yang dia pasarkan diseitar daerahnya di Atlanta.
Meskipun dia sadar bahwa keputusan untuk mengahpus atau tidak dari keanggotaan Facebook berdasarkan nama adalah hak sepenuhnya Facebook tetapi dia menyayangkan mengapa tidak ada konfirmasi lebih dahulu sebelum pemblokiran tersebut.
"They should at least give you a warning, or at least give you the benefit of the doubt," begitulah pernyataan Barry Schnitt, juru bicara Facebook. "I was on it all day. I had built my entire social network around it. That's what Facebook wants you todo."(http://www.sfgate.com/cgibin/article.cgi?f=/c/a/2009/05/25/BUSQ17MUBG.DTL&feed=rss.business)
Penghapusan Alicia tersebut dikarenakan oleh nama “aneh” yang dimilikinya, yaitu Istanbul. Istanbul merupakan nama kota dan terdengar aneh jika digunakan sebagai nama orang. Namun, Alicia membantah bahwa memang nam tersebut adalah nama resminya dari kecil pemberian orang tuanya.
Kasus nama ”aneh” semakin lama semakin tidak dapat dikendalikan oleh Facebook. Di Indonesia misalnya banyak sekali pengguna Facebok yang mengganti nama mereka dengan berbagai macam nama. Namun, kasus ”Istanbul” ini setidaknya memberikan sebuah pelajaran tentang betapa kekuasaan berupa kontrol yang dimilki Facebook sangat besaar sekali, bahkan karena sebuah nama.
Blokir Akun Pengingkar Holocaust
Facebook diberitakan telah memblokir dua akun Pengingkar Holocaust. Sebelum mendapatkan kecaman dan permintaan dari berbagai pihak, Facebook mengijinkan dua akun tersebut untuk menggunakan Facebook. Namun, karena mendapatkan tekanan dari beberapa pihak akhirnya terjadilah pemblokiran tersebut.
Menanggapi berita tersebut pihak Facebook mengatkan bahwa Facebook sebagai situs jejaring sosial hanya akan melakukan intervensi yang berkaitan dengan kasus-kasus yang mengancam kekerasan, isu-isu sensitif rasial dan penyebaran kebencian di kalangan masyarakat.
Isu pemblokira tersebut dimulai ketika Brian Cuban, seoarang pengacara Dallas dan saudara pengusaha bisnis teknologi Mark Cuban, menulis sebuah tulisan diblog yang beriri tentang kritiknya terhadap Facebok yang telah mengijinkan dua akun Pengingkar Holocaust mwnggunakan Facebook.
"Facebook certainly has the right to allow diverse points of view on politically and historically sensitive issues, [but] Facebook also has Terms of Service (TOS) in place that dictates the limitations on such content," demikian tulis Cuban.( http://www.pcmag.com/article2/0,2817,2346610,00.asp)
Pihak Facebook sendiri jga mengtakan bahwa pihaknya kan menyeimbangkan antara tuntutan terhadap toleransi dan sensorship.
"We are sensitive to groups that threaten violence towards people and these groups are taken down," seperti yang diungkapkan oleh juru bicara Facebook. "We also remove groups that express hatred towards individuals and groups that are sponsored by recognized terrorist organizations. We do not, however, take down groups that speak out against countries, political entities, or ideas."
Di Amerika Serikat sendiri, PengingkaR Holocaust bukanlah organisasi illegal. Oleh karena diberi kebebasan oleh Negara untuk berpendapat, mengekpresikan pikirannya dan lain sebagainya. Namun, demikian Cuban berpendapat, di beberapa Negara, Pengingkar Holocaust adalah sebuah tindakan criminal. Cuban menyebutkan beberapa Negara yaitu Austria, Belgia, Czech Republic, Prancis, Jerman, Lithuania, Polandia, Rumania, Israel, Slovakia and Swiss. Karena di beberapa Negara tersebut Pengingkar Holocaust adalah kriminalitas maka Facebook yang juga sudah hadir di Negara-negaratersebut harus memblokir akun pengingkar Holocaust tersebut.
"We have recently begun to block content by IP in countries where that content is illegal, including Nazi-related and Holocaust denial content in certain European countries," juru bicara Facebook menyampaikan. "The groups in question have been blocked in the appropriate countries."Isu mengenai penghapusan akun Pengingkar Holocaust dapat menjadi suatu p[intu masuk bagi melihat hubungan antara Facebook dan isu-isu sensitive di sebuah Negara atau masyarakat. Misalnya juga terkat semacam isu Homoseksualitas, isu Aborsi, isu nikah Beda Agama, isu Ahmadiyan dalam konteks Indonesia, dan beratus isu-isu sensitive yang dapat kita lokalisir di berbagai negara. Bagiamanakah Facebook menunjukkan keberpihakannya dengan kebijakan-kebijakan (policy) yang diambilnya?
Beberapa pengalaman di lapangan juga menunjukkan bahwa beberapa pengguna Facebook tanpa tahu sebabnya terblokir dari Facebook dengan sebuah peringatan berbunyi “Anda telah melakukan penyebaran kebencian dan isu-isu rasial” dan sebaigainya. Hal ini disinyalir karena pengaduan-pengaduan ke pihak Facebook oleh pihak-pihak tertentu. Motif dari pengaduan tersebut bisa bermacam-macam, bisa karena iseng, serius ingin melaporkan, atau karena ada motif politik dan sebagainya. Yang jelas dari kasus pemblokitan tersebut adalah bagaiaman verifikasi atas kebenaran p[engaduan oleh pengguna Facebook sehingga tidak merugikan pengguna Facebook. Dari titik inilah kita dapat melihat bahwa Facebook tidak hanya megandung harapan akan relasi sosial yang lebih baik, tetapi sekaligus juga mengandung ancaman terkait dengan keberpihakan atas isu-isu sensitif di sebuah neghara yang menggubakannya.
Oleh karena itu, kita dapat mengajukan sebuah pertanyaan dari kasus tersebut tentang netralitas Facebook. Apakah Facebook merupakan sesuatu yang netral? Kalau kita mengikuti kepercayaan bahwa tidak ada sesuatu yang netral, maka Facebook oleh karenanya juga bukanlah sesuatu yang netral atau dengan kata lain dia merupakan sesuatu yang mengandung ideologi di dalamya.
Melampaui Panoptikon
Dengan beberapa contoh di atas dan dengan kesadaran akan keterbatasan data, penulis sampai pada kesimpulan sementara bahwa Facebook tidak hanya mengandung unsur Panoptikon di dalam dirinya melainkan ia telah melampaui Panoptikon. Kenapa? Karena dua unsur utama dalam "penjara" Panoptikon Facebook, yaitu Facebook(owner) sebagai penajga dan pengguna (user) sebagai tawanan sama-sama tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri alias kehilangan kuasa untuk mengontrol kesadarannya sendiri meskipun tidak berarti pengawasan hialng sama sekali.
Di dalam penjara Panoptikon Foucault, penjaga benar-benar bisa mengontrol tawanan. Namun, yang terjadi di dalam Facebook adalah penjaga (staf Facebook) tidak benar-benar bisa menguasai tawanan, misalnya dalam kasus penggantian nama Asli yang semakin sulit dikontrol seiring berkembangnya Facebook ke seantero dunia. Di pihak tawanan juga begitu. Tawanan (pengguna Facebook) seperti kehilangan kesadaran sama sekali bahwa dirinya sedang diawasi. Kesadaran tentang adanya pengawasan (kontrol) Facebook hampir tidak ada. Berbeda dengan tawanan dalam penjara Panoptikon Foucault yang meskipun tidak dapat melihat siapa yang mengawasi tetapi ia sadar ada sesuatu (seseorang) yang mengawasi dirinya.
Ia sadar ada sebuah "kekuasaan tak terlihat" yang dapat "mencabut" dirinya dari dunia perFacebookan kapanpun kekuasaan itu mau. Seperti Alicia Istanbul, tanpa ampunan, pemberitahuan dan permohonan penundaan pencabutan. he he....
*Pegiat Komunitas Embun Pagi Semarang
Gambar diambil dari http://lonewolflibrarian.files.wordpress.com/2009/05/facebook.jpg
3 komentar:
Mungkin fenomena facebook ini memang tidak terjelaskan dg sempurna oleh panopticon-nya foucault, tapi agaknya baudrillard & yasraf lebih dapat menjelaskannya dengan "gamblang". istilah "cyber" sering diartikan sebagai "pilot", yang artinya personal yg masuk dalam dunia "cyber" otomatis -dg fasilitas yg ada pada dunia "cyber' ts- menjadikan dirinya "berkuasa penuh" atas dirinya sendiri, bukan atas orang lain.
itu singkatnya, panjangnya baca baudrillard & yasraf hahaha.... sory broer, lom sempet menanggapi serius, lg banyak kerjaan nie...
hehehe... sebenarnya sih gitu Om...
tapi keburu males baca tanda gini-gini ( " " " " " ")nya pak Yasraf. hehehe... Lagian juga, dah banyak yang nulis facebook dg kacamata Baudrillard. he...
Kerja terus.... kejar setoran.. hehe...
..hahaha... iya, sepertinya membaca yasraf -maaf, sang juragan apostrow- akan mengasah kepekaan kita akan makna-makna lain dr sebuah kata...ah memang susah, tapi kebanyakan klo jeli memang spt derrida, kata tidak pernah tetap dalam satu makna haha...
Posting Komentar