Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita
Oleh : Awaludin Marwan, SH
Judul ini di inspirasi dari satu kalimat yang cukup intuitif dalam buku Panca Sila yang di tulis oleh Prof Sudiman. Pokok-pokok pikiran yang di bahas dalam esai beliau cukup komprehensensif dan dialektis dalam membaca Pancasila secara tekstual maupun kontekstual. Maka dengan esai singkat ini, penulis hendak mengurai kembali sari-sari pemikiran Prof Sudiman dan mengkorelasikan dengan pemahaman penulis terhadap subtansi yang di diskursuskan oleh beliau.
Dari Keraguan ke Pendekatan Holistis
Banyak yang meragukan bangunan teoritis Pancasila. Bahkan kredo, bahwa pancasila semacam ideologi “gado-gado” yang tak jelas orientasi dan dasarnya, telah di jadikan opini kuat yang terseret arus reformasi. Uforia reformasi tak hanya berdampak positif pada perkembangan demokratisasi, hak asasi manusia, dan desentralisasi. Tetapi memiliki aspek negativa, di mana nilai-nilai globalisasi dan kosmopolitanisme terbawa tanpa saringan yang memadai untuk di konsumsi khalayak masyarakat Indonesia.
Pada persoalan, kegamangan Pancasila secara epistemologi, di ketahui bahwa berbagai macam ideologi bangsa-negara di ketengahkan pandangan yang memiliki naskah akademik. Naskah akademik yang di tulis secara serius oleh filsof-filsof yang berpengaruh. Umpamanya, paham sosialisme-komunis yang di konstruksikan secara ilmiah oleh Das Capital-nya si-Jenius Karl Marx. Kemudian kapitalis klasik yang disuarakan oleh filsof moral The Weath of Nation-nya Adam Smith. Terakhir, liberalisme dikemukakan melalui Essay Concerning Human Understansding. Sedangkan Pancasila, lahir dari rahim siapa? Soekarno-kah yang bersamaan dengan penerimaan doctor honoris causa dari UGM menolak disebut pembuat Pancasila. Lalu, bangunan teoritisnya, dari buku apa saja?
Inilah kenapa, Pancasila kemudian banyak kritik. Sila pertama ketuhanan di pandang menyerupai ideologi teokrasi, mirip dengan sistem abad pertengahan di dunia barat, saat raja-gereja menjadi satu, ataupun sistem khilafah di Timur Tengah, di mana para sahabat menjadi pemerintah sekaligus badan peradilan. Sila kemanusiaan Pancasilan mencerminkan bahasa dari paham liberalisme, yang mengagung-agungkan hak asasi manusia individual ketimbang hak kolektif. Terakhir, kritik pedas pada sila terahir, keadilan sosial yang mirip konsepsi Marxisme-Leninisme yang hendak menghancurkan antagonisme kelas. Melihat semuanya, ingin di sama-ratakan.
Kritik pedas ini, telah terjawab sudah oleh Prof Sudiman. Bahwa Pancasila bukanlah, sebuah paham asal-asalan, melainkan paham yang sudah lama terpendam dalam sanubari dan akar kultur masyarakat indonesia sejak 350 tahun lamanya. Pancasila adalah ”sistem filsafat”. Pancasila memiliki metode holistik, komprehensif, intregal, dan sistemik. Bukannya, filsafat berisikan nilai-nilai universal yang terdapat dari Sabang hingga Merouke saja, melainkan memiliki basis epistemik yang bisa di perdebatkan. Pancasila merupakan kristalisasi Indonesia. Pancasila memandang Indonesia secara luas, dalam, filosofis, dan menyeluruh. Singkat kata, Pancasila memandang Indonesia secara keseluruhan, bahkan memandang kepentingan dunia internasional sekaligus.
Metode holistis yang di gunakan Pancasilan ternyata sejalan dengan perkembangan sains modern. Di mana pendekatan keilmuan yang dipakai di dalam sains pascamodern telah mengalami banyak perubahan. Diferensiasi tekno-sains yang telah terfragmentasi begitu banyaknya luluh lantah dewasa ini. Pendekatan holistis, yang mengedepankan penyelidikan interdisipliner dalam menanggulangi permasalahan kehidupan manusia telah berlangsung lama. Persoalan kehidupan manusia tidak bisa diselesaikan dengan satu disiplin ilmu saja, melainkan dari berbagai ilmu yang terpadu, eksakuantitaif-sosiologis, filosofis, dan teknologis. Sebagaimana yang dimaksud dengan kesatuan pengetahuan (the unity of knowledge) oleh Wilson. Ataupun pendekatan holistik dan sistemik yang diungkapkan oleh Fritjof Capra.
Pancasila menyediakan pendekatan keilmuan melampui modern dan positivisme. Bahkan boleh di katakan, pendekatan holitis lebih dulu terkandung oleh Pancasila ketimbang di kampanyekan oleh ilmuwan sains terbaru saat ini. Kita patut bersyukur, bahwa kita sebenarnya memiliki paham kerangka epistemologi (pancasila) yang melampaui modern dan positivisme itu.
Kita tak perlu meragukan unsur holistisisme di dalam Pancasila. Meskipun demikian, dalam tulisan ini hal ini perlu dibuktikan melalui hasil penyelidikan nalar. Pertama, Pancasila di konstruksikan oleh Bung Karno, dimana ia merupakan menggagas keseluruhan sila yang di kontekstualisasikan dari keindonesiaan. Tidak berjuang secara parsial, misalnya Ki Hajar Dewantara yang mengkonsepsikan tipikal pendidikan nasional Indonesia saja, meskipun kita harus mengakui perjuangan Ki Hajar Dewantara begitu besar untuk Indonesia. Walaupun secara proporsional kita bisa mengatakan bahwa pergerakan beliau hanya sebatas di wilayah pendidikan.
Tetapi, Pancasila. Melepaskan sekat-sekat perjuangan, ras, agama, disiplin ilmu, hingga menuju Bhineka tunggal Ika-nya. Menuju ke kekesatuan yang utuh. Pancasila sebagai paham yang tak termakan oleh zaman, melainkan ia selalu hadir sebagai perspektif kontemporer yang cocok bagi bangsa Indonesia.
Pada akhirnya, semuanya itu dapat kita sadari bahwa, ketidak-sudian warga negara Indonesia menggunakan paham Pancasila di karenakan dua hal besar. Pertama, ketidak-pahaman konsepsi pancasila secara subtansional. Dan, kedua, stigmatisasi Pancasila yang dulu cenderung di gunakan oleh rejim Orde Baru untuk memberikan legitimasi politis pada pertahanan status quo-nya. Sehingga semenjak reformasi bergulir, P4 (pedoman, penghayatan, pengamalan pancasila) di duga produk orde baru di hapuskan. Bahkan sekarang mata pelajaran Pancasila pun di hapus dari dunia sains pendidikan nasional.
Selanjutnya, bagaimana dengan orang yang masih tetap bersikukuh pada padangan bahwa Pancasila merupakan ideologi ”gado-gado” itu?. Prof Sudiman, mengandaikan ini sebagai kesalahan ”cara melihat” saja. Beliau salut dengan Prof Mr Cornelis van Vollenhoven—lepas dari ketidak-senangan kita pada kolonialisme Belanda—, merupakan salah satu pemikir yang dapat membaca hukum Indonesia melalui perspektif Indonesia. Hukum adat yang di tulis van Vollenhoven cukup bercorak keindonesiaan. Beliau tidak memandang Hukum Indonesia dengan cara pandang barat.
Begitulah kira-kira yang terjadi dengan Pancasila. Jangan lagi melihat Pancasila dalam perspektif barat. Tentang relasi ideologis dengan metarialisme historis, imperialisme, antagonisme kelas Marx, atau laizzes faire, invisible hand, pasar bebas Smith. Tapi bagaimana memahami Pancasila dalam perpektif ke-Indonesiaan. Sehingga, yang satu ini penulis yakini, mampu melihat Pancasila dengan kacamata cukup jernih.
Kesadaran
Pemikiran Pancasila tak sebatas yang tertulis dalam teks tanpa makna. Tetapi Pancasila jelas lima pilar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Pernah menjadi sebuah perdebatan yang menarik, khususnya yang di motori oleh Prof. Driyarkara yang memandang belum tepatnya jika Pancasila itu masuk ke ranah filsafat. Masih perlu falsifikasi, verifikasi, dan apalah namanya, yang intinya adalah skema pendukung Pancasila sebagai sebuah filsafat. Pancasila lebih tepatnya, sebagai jiwa bangsa.
Tetapi penulis di sini ingin menekankan sebuah hal, yakni: Pancasila melampaui filsafat yang selama ini di dominasi oleh pemikiran barat. Pemikiran barat yang terlalu mempercayai rasionalitas. Rasionalitas di anggap sebagai senjata ampuh untuk menyiram api mitos. Meskipun demikian, sebaliknya, keyakinan pada rasionalitas yang berlebih-lebihan merupakan justru menciptakan mitos baru. Seolah-olah semuanya dapat diselesaikan dengan akal budi manusia yang terbatas kapasitanya.
Pemikiran barat yang mengedepankan rasionalitas, melembagakan budaya berpikir logosentrisme. Paham yang mementingkan unsur logis saja. Tipikal pemikiran seperti ini pada umumnya identik dengan pola berpikir para filsof modern. Filsof modern yang di mulai semenjak renaissance, mengunggul-unggulkan rasionalitas di atas segala-galanya. Entah itu aliran pemikiran rasionalisme Prancis—Rene Descates, Spninoza, Pascal, dst,— maupun empirisme Inggris — Thomas Hobbes, John Locke, David Hume, Berkeley. Hingga pencerahan (aufklarung) di Jerman yang menciptakan aliran besar filsafat idealisme Immanuel Kant, Hegel, Ficthe, Scelling. Semuanya itu lebih mengedepankan rasionalitas.
Namun, pada akhirnya pemikiran modern pun banyak di gugat oleh rumpun pemikiran post-modern. Logosentrisme di nilai gagal menjalankan misinya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan manusia yang sesuai dengan kebutuhan manusia-nya. Tekno-sains berkembang berdasarkan disensus bukan konsensus yang menitik beratkan pada post-humanisme. Ilmu pengetahuan telah kehilangan kepercayaannya (delegitimasi).
Aliran pemikiran kontemporer, post-modern dan post-strukturalis menolak sebuah narasi besar. Menolak sebuah hal yang universal. Termasuk penggunaan rasionalitas yang berlebih-lebihan yang ditentang keras oleh tradisi pemikiran Post-modern. Banyak orang menilai, bahwa pemikiran post-modern bukanlah semacam kerangka epitemologi baru yang memiliki metodologi yang dapat digunakan secara praksis. Tujuan post-modern itu adalah membidik kesadaran manusia. Hingga rumpun pemikiran ini juga disebut, modern yang sadar diri, atau ultramodernisme, atau hipermodernisme.
Pemikiran barat telah banyak mengalami pergeseran. Orang yang semula belajar mengasah otaknya dengan filsafat dan tekno-sains, tidak hanya di tuntut untuk menguasai ilmunya, melainkan di pinta untuk memiliki kesadaran dan tanggung jawab akan keilmuannya. Keilmuannya yang bermanfaat untuk kepentingan kemanusiaan.
Di era modern, orang belajar fisafat, tetapi tidak menjalankan atau mengamalkan apa yang dipelajarinya. Bahkan tidak memiliki kesadaran dalam mempelajarinya. Tetapi, kembali ke konsepsi pemikiran Pancasila, melampui tradisi pemikiran modern dan post-modern. Yakni menyakini bahwa Pancasila itu bukanlah otak-atik nalar semata, melainkan juga panduan hidup yang perlu di amalkan dan di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Singkat kata, Pancasila melampaui rasio yang diunggulkan oleh pemikiran modern, kesadaran oleh pemikiran post-modern, melainkan sampai pada tahap bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan nyata. Pancasila tidak hanya untuk dipikirkan, tidak pula di sadari, tetapi juga telah tercermin dalam perilaku dan interaksi sosial masyarakat Indonesia.
Sebagaimana tradisi pemikiran timur, yang tidak hanya mengedapankan rasio, tetapi juga menekankan rasio yang diskursif dan perasaan yang intuitif. Harus ada kesejajaran antara apa yang dipikirkan, apa yang diucapkan dengan apa yang dikejarkan. Itulah timur!.
Peradaban timur telah menghasilkan kekayaan yang cukup bermakna bagi kehidupan manusia dunia. Peradaban yang sarat pemikiran filsafat timur memiliki gayanya sendiri. Beck menunjukan kebutuhan falsafati timur yang dapat diukur dengan : pengetahuan tentang kebaikan tertinggi (knowledge of the highest good) dan tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi (action for the highest good). Ataupun Blanshard yang menilai bahwa filsafat timur sebagai kebijaksanaan yang di dasari oleh perasaan (feelings) dan keinginan/ nafsu/ birahi (desires) ketimbang pengetahuan. Kedua, penilaian itu di dasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis.
Kolektivisme versus Individualisme
Pancasila sebagai bukti perlawanan kuatnya pengaruh pemikiran barat terhadap eksistensi paham-paham negara-bangsa di seantero jagad ini. Tetapi perlu di tekankan, bersamaan dengan optik Prof Sudiman, bahwa pemikiran barat bersifat individualisme. Seolah-olah, mengedepankan ”aku”, eksistensi manusia mendahului esensinya, orang lain neraka.
Sehingga prinsip-prinsip kesenangan dunia barat di motori oleh hakekat liberalisme, di mana campur tangan pemerintah sudah ditekan serendah mungkin, kepentingan pribadi di atas segala-galanya.
Tetapi Pancasila di gali dengan ”perbedaan dalam kesatuan”. Prinsip kekeluargaan menjadi prioritas. Keluarga, merupakan institusi yang di cari oleh sebagian besar manusia Indonesia, sebagai sebuah institusi yang membahagiakan, menenangkan batin, suka saat bersama-sama, meskipun dalam berbagai perbedaan yang ada.
Seperti halnya tradisi bangsa Jepang dalam berhukum dan berdemokrasi. Akar kultur kebudayaan memang tak bisa dipisahkan oleh hukum, jika hukum itu menginginkan keadilan bagi masyarakat lokalitas di mana hukum itu hidup, maka bermanfaat dan efektiflah hukum tersebut. Sebagaimana Jepang yang kita bisa melihatnya sebagai sebuah negara yang memiliki daya kekuatan sendiri atas landasan tradisi yang dipegang teguh. Jepang mengidentifikasi dirinya dan membangun kehidupan yang tak menyatu dengan tradisi, kebudayaan, dan peradabannya.
Jepang memegang teguh nilai kolektivisme, bukan individualisme yang berasal dari mulut liberalisme-kapitalisme. Tradisi Jepang tak mengenal ”aku”, yang ada bagi mereka adalah uchi (my house) orang-orang yang tinggal satu rumah, otaku (your house) rumah-rumah tetangga sekitar, dan kaisha (symbolizes the expression of group consciousness) simbol kesadaran kolektif komunitas. Sehingga urusan yang ada bukanlah kepetingan diri sendiri, melainkan kepentingan orang rumah, tetangga, dan kesadaran bersama komunitas.
Sehingga dengan kuatnya tradisi ini Jepang tumbuh menjadi negara yang memiliki indentitas. Ia memiliki intregasi sosial komunitas masyarakat, sehingga pembangunan pun di jalankan dengan modal sosial ini. Kepedulian masyarakat Jepang antara satu dengan yang lain, terutama orang rumah, tetangga, dan komunitasnya begitu besar, sehingga menciptakan emotional partisipation, partisipasi emosional yang mengikat antarindividu. Sehingga suasana kekeluargaan, gotong royong, toleransi, dst-nya menjadi karakteristik masyarakat Jepang. A group formed on basis of exclusiveness, based on this homogenety, even without recourse to any form of law. Nalar dan rasa komunitas menyatu dengan pribadi manusia Jepang. Inilah yang menarik dari Jepang yang mungkin sulit ditiru Indonesia, umpanya dengan Jepang yang memiliki masyarakat homogen dan ada institusi yang menjaga kultur dan tradisi mereka berupa kekaisaran-kerajaan yang masih eksis dan autoritatif.
Yang menarik berikutnya dari Jepang adalah tradisi yang eksis tak tergerus desakan kapitalisme-liberalisme-globalisasi. Di tengah masyarakat dunia yang diterpa sistem sekular, memisahkan urusan budaya dan agama, Jepang malah sebaliknya. Iklim religi dan kebudayaan Jepang tetap dilestarikan bahkan di jadikan dasar kemana arah Jepang berjalan. Amerika sebagai negara sekular yang menjadi cermin bagi wujud negara yang di inginkan kapitalisme-liberalisme telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang paling mampu menjawab tuntutan globalisasi. Namun Jepang juga mampu memenuhi tuntutan globalisasi tanpa harus menjadi negara kapitalistik-liberalistik. Jepang terseret arus globalisasi tanpa tenggelam di dalamnya. Sehingga dalam setiap aktivitas di berbagai bidang, khususnya politik dan demokrasi ia tetap mendahulukan tradisi dan akar kultur kebudayaannya.