Oleh : Abdul Haris Fitrianto *
Banyak keuntungan dan kemudahan ketika seseorang mempunyai Power (kekuasaan) di lembaga kemahasiswaan karena posisi strategis ini menunjukkan eksistensi, menjanjikan status sosial, gengsi, pengaruh, kolega, fasilitas. Tidak mengherankan banyak calon dari perseorangan dan komunitas berebut untuk meraih posisi strategis ini saat pemilihan Ketua Lembaga Kemahasiswaan. Hal ini merupakan perilaku yang lumrah manakala seseorang atau komunitas terikat dalam sebuah sistem lembaga dimana will to Power menjadi motivasi yang dominan.
Selama mempunyai posisi strategis dalam lembaga kemahasiswaan mungkin memang menyenangkan, selain dapat meningkatkan status sosial, menancapkan pengaruhnya, dapat juga memberikan nilai kebanggaan pada diri sendiri karena dapat berprestasi atau menuangkan kreativitas.
Status sosial ini berpengaruh terhadap sikap dalam menghadapi berakhirnya periode jabataan (masa pensiun). Jika semasa kerja ia mempunyai status sosial tinggi sebagai hasil dari prestasi dan kerja keras (sehingga mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari civitas akademia atau organisasi), maka ia cenderung lebih memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik (karena konsep diri yang positif dan hubungan sosial yang baik). Namun jika status sosial itu didapat bukan murni dari hasil jerih payah prestasinya (misalnya lebih karena politis) maka orang atau pergerakan ini justru cenderung mengalami kesulitan saat menghadapi masa pensiun, karena begitu pensiun, maka kebanggaannya lenyap sejalan dengan hilangnya atribut dan fasilitas yang menempel padanya selama ia masih menjabat.
Kecemasan akan kehilangan atribut dan fasilitas ini menimbulkan gangguan psikis. Bila subjek memiliki jabatan, kekuasaan dan pengaruh yang cukup besar di masa kerjanya, begitu memasuki pensiun semua itu tidak dimilikinya, sehingga timbullah berbagai gangguan psikis yang semestinya tidak perlu. Hal ini berdampak negatif terhadap dirinya, mereka mendadak menjadi sangat sensitif dan merasa eksistensi yang dibangun selama ini akan punah hanya karena masa kejayaannya telah berlalu.
Periode ini disebut sebagai Post Power Syndrome. Umumnya, post power syndrome adalah gejala yang terjadi dimana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karirnya, Jabatannya, status sosialnya, kecantikannya, ketampananya, kecerdasannya, atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. Pada mulanya Post Power Syndrome adalah issue pada mereka yang akan atau sudah pensuin karena telah melewati masa – masa produktif (lansia), tetapi dewasa ini mengalami perluasan kajian. Dalam lingkup lembaga kemahasiswaan dapat diartikan Post Power Syndrome adalah keadaan dimana subjek merasa masih mempunyai atribut kekuasaan, hak, wewenang seperti pada saat menjabat. Perilaku yang ditampilkan subjek antara lain berusaha sebisa mungkin untuk dapat mempertahankan sisa – sisa pengaruhnya selama mungkin.
Dalam kajian Kesehatan Mental, Yang mengalami Post Power Syndrome Biasanya, justru mereka yang pada dasarnya sudah memiliki kondisi mental yang tidak stabil, konsep diri yang negatif dan rasa kurang percaya diri terutama berkaitan dengan kompetensi diri. Selain itu, masalah harga diri memang sering menjadi akar depresi setelah lengser, karena orang-orang dengan harga diri yang rendah semasa produktifnya cenderung akan jadi overachiever semata-mata untuk membuktikan dirinya sehingga mereka habis -habisan dalam bekerja sehingga mengabaikan sosialisasi dengan sesamanya pula. Pada saat pensiun, merasa kehilangan harga diri, kehilangan pengaruh, dan eksistensi.
Seperti kita ketahui bersama, Pemilihan umum raya KM UNNES baru saja berakhir, baik di Tingkat Universitas, Fakultas dan Jurusan. Para calon terpilih di setiap lembaga tentu saja mulai menyiapkan kerja nyata untuk satu periode mendatang. Artinya, masa kerja lembaga kemahasiswaan periode 2007 ini sebentar lagi selesai. Nah, bertolak dari semua ini, patut kita cermati, mungkinkah ada yang mengalami Post Power Syndrome ? Semoga saja tidak.
*) Mahasiswa Psikologi UNNES angkatan 2003
Selasa, Januari 15, 2008
POST POWER SYNDROME DI LEMBAGA KEMAHASISWAAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
5 komentar:
Kpd. Ms Haris
Tolong koordinasikan lewan temen2, selasa depan qt diskusi bareng lagi. Tapi tempatnya masih belum ditentukan...thanks.
Ms Giyanto.
3201402030
Ya Mas Gi dan Mas Hariz...saya di jakarta tetap memonitoring kie..sama Mas taufik he...he..h.e.h.e..jalankan terus diskusi koi daratnya biar lebih masif gitu...
sekali-kali temaptnya di Jakarta saja, di TIM, Utan Kayu, ato do kontrakanku aja...
Edi Subkhan, di Jakarta
zzz...zzz...zzz...
post power syndrome, istilah "sono"nya begitu,
gampangnya mungkin belum bisa melupakan saat jaya.
semua orang pasti pernah mengalami itu, karena itulah maka post power syndrome saya katakan gejala umum, dan bisa dimaklumi.
hanya yang membedakan, kadar dan lamanya saja.
kalo terlalu lama kan saru, juga kurang tau diri.
kira-kira begitu kan mas?
SALAM PERJUANGAN SAUDARA-SAUDARAKU DI KOMUNITAS EMBUN PAGI...
TETAP SEMANGAT.....
http://agusthutabarat.wordpress.com
Posting Komentar