Isu terkait pernikahan telah banyak digagas oleh para pejuang pergerakan feminisme, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Namun demikian, permasalahan yang diperjuangkan oleh feminis luar negeri dan feminis dalam negeri, tampaknya tidak selalu sama, tentu saja karena perbedaan kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya, ideologi, dan sebagainya di masing-masing tempat.
Dalam permasalahan terkait pernikahan, para feminis luar negeri banyak memperjuangkan tentang kesetaraan hak wanita dalam kehidupan rumah tangga, keseimbangan tugas mengasuh anak antara ayah dan ibu, hak seorang istri untuk menolak berhubungan seksual dengan suaminya, dan sebagainya. Bahkan pada poin yang paling ekstrem, pernah digagas oleh Sheila Cronan mengenai abolisi pernikahan. Cronan berpendapat bahwa pernikahan merupakan suatu bentuk perbudakan terhadap wanita, dan kemerdekaan kaum wanita tidak akan pernah diperoleh tanpa adanya penghapusan pernikahan.
Sementara itu, berbeda dengan tren gerakan feminisme di luar negeri, para feminis Indonesia dalam permasalahan terkait pernikahan, lebih cenderung memperjuangkan penolakan dan pengaturan terhadap poligami; pencatatan perkawinan, perceraian, serta rujuk; perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan penelantaran; dan sebagainya. Hal yang lain juga, para feminis negeri ini, mulai dari generasi Kartini hingga generasi Gadis Arivia, merupakan para ibu dan istri yang baik dalam kehidupan rumah tangga mereka. Maksud penulis, setidaknya para feminis negeri ini tidak pernah menggagas sesuatu yang seekstrem abolisi pernikahan.
Penulis sejujurnya tidak pernah menisbatkan diri sebagai seorang feminis atau pejuang feminisme. Namun, sebagai seorang manusia dan semakhluk wanita, penulis seringkali dibuat teriritasi oleh sejumlah fenomena yang terjadi di sekitar. Kalau boleh dimasukkan juga, termasuk gagasan Cronan mengenai abolisi pernikahan yang secara tidak sengaja pernah terbaca beberapa waktu lalu.
Gerakan ini barangkali tidak perlu mengusung nama feminisme, yang pada akhirnya memberi definisi paham yang mewakilkan seluruh dan setiap wanita yang ada di dunia. Pada kenyataannya, tidak setiap dan seluruh wanita sepaham dengan setiap gagasan yang mengandung label feminis. Setidaknya penulis, satu dari sekian milyar wanita yang tengah hidup di dunia, tidak selalu menyepakati setiap gagasan yang dimunculkan oleh tokoh pejuang pergerakan feminisme.
[Seperti disadarkan oleh Masyhur Aziz Hilmy empat tahun silam: menjadi bagian dari suatu keseluruhan bukan berarti memiliki dan mewakili keseluruhan, walaupun bagian-bagian tersebutlah yang memiliki wewenang untuk menyusun kelompok representatif untuk mewakili keseluruhan
Dalam pandangan pribadi penulis, terdapat sejumlah gagasan feminisme yang justru melakukan penjajahan terhadap kemerdekaan kaum wanita. Pun terdapat gejala-gejala yang ada di masyarakat terkait masalah pernikahan, yang merupakan bentuk penjajahan terselubung terhadap manusia-manusia yang menjalani pernikahan tersebut, tidak hanya kaum wanita (ini yang baru bisa penulis sebut sebagai kesetaraan, yakni tidak menafikan peran kelompok lain yang turut terlibat dalam suatu permasalahan).
Untuk gagasan mengenai abolisi pernikahan, misalnya. Kelompok wanita yang secara serius menjalani dan memuliakan peran serta tugasnya sebagai seorang istri dan ibu tentu saja akan merasa bahwa gagasan tersebut melakukan penjajahan terhadap kebebasannya dalam melakukan perjuangan. Setidaknya terdapat puluhan wanita yang penulis kenal telah atau berniat untuk mendedikasikan dirinya menjadi pahlawan di balik peran ibu dan istri. Penulis sepakat bahwa seorang wanita dapat menjadi pahlawan bagi kemanusiaan, hanya dengan menjalankan tugasnya sebagai ibu dan istri (tanpa menafikan realitas bahwa seorang wanita dapat juga menjalani peran-peran luar biasa lainnya secara sekaligus) dengan sebaik-baiknya. Namun demikian, menjadi seorang ibu yang merupakan pahlawan bagi kemanusiaan adalah suatu pilihan dan kemungkinan, seperti halnya menjadi seorang ibu yang merupakan penjahat kemanusiaan.
Bentuk konkretnya penulis jelaskan demikian. Seorang ibu yang mampu memberikan pengaruh dengan sangat baik kepada anak-anaknya, melalui metode pendidikan dan pengasuhan apa saja, memiliki keleluasaan yang meskipun terbatas untuk menjadikan anak-anaknya seperti Adolf Hitler, Mahatma Gandhi, atau seperti Dadang bin Asep yang berjualan gado-gado di komplek perumahan. Apabila berkenan untuk belajar dari peristiwa masa lalu, tentunya akan dapat menilai seberapa besar pengaruh yang diberikan Adolf Hitler dan Mahatma Gandhi bagi kemanusiaan. Pun jangan melupakan karakter fiktif Dadang bin Asep yang berjualan gado-gado di komplek perumahan. Barangkali memang tidak ada media yang mengabarkan ke seluruh penjuru dunia yang lantas mengabadikan namanya dalam sejarah kemanusiaan, tetapi dalam contoh ini, Dadang sang penjual gado-gado mampu melahirkan kesadaran dan memberikan teladan luar biasa bagi kemanusiaan.
Putra Pak Asep tersebut, ketika berkeliling menawarkan dagangannya, selalu memungut sampah yang terlihat oleh pandangannya kemudian mengantarkannya ke tempat sampah. Awalnya tindakan tersebut terlihat biasa saja. Namun kelamaan, anak-anak komplek yang masih kecil (dan jangan pernah lupa bahwa anak-anak adalah peniru paling ulung) menirukan kebiasaan yang terus dilakukan Dadang tersebut, sehingga muncullah satu generasi pecinta lingkungan. Karakter mengharukan yang dimiliki oleh generasi ini selanjutnya memberi inspirasi berupa teguran visual dan kesadaran pada generasi lainnya untuk kembali peduli pada lingkungan. Sebenarnya Dadang tidak hanya berkeliling di satu komplek, tetapi juga di komplek-komplek pemukiman lainnya. Penjual gado-gado yang dulunya selalu diajari oleh ibunya untuk cinta lingkungan ini, akhirnya menularkan watak positif ke komunitas luas, karena seperti halnya keburukan, kebaikan pun mudah menular. (Dan) budaya bernilai positif tersebut ternyata berdasar pada nilai luhur yang ditanamkan oleh seorang ibu pada anaknya. Bukankah luar biasa?
Tentu saja tidak setiap ibu dan istri punya dedikasi yang baik untuk menjadi pahlawan dan memfasilitasi suami serta anaknya untuk menjadi pahlawan. Namun demikian, kelompok yang diceritakan oleh penulis eksis di komunitas. Jika pernikahan dihapuskan, apakah tidak lantas memberangus perjuangan luhur yang dilakukan oleh sebagian (barangkali besar) komunitas wanita di dunia tersebut?
Itu baru satu.
Selanjutnya, meskipun berpendapat bahwa abolisi pernikahan dapat menjadi suatu belenggu bagi perjuangan kaum wanita dalam melakukan aktualisasi diri, penulis juga memiliki pendapat yang barangkali berupa paradoks terhadap pandangan pertama tersebut. Bahwa di masyarakat tengah terjadi pernikahan-pernikahan yang tidak hanya menjajah kemerdekaan kaum wanita untuk melakukan aktualisasi diri, tetapi juga kemerdekaan kaum pria.
Pernikahan merupakan suatu prosesi penyatuan yang sakral antara seorang pria dan seorang wanita (secara konvensional penulis sebutkan demikian, meski telah terdapat pernikahan yang menyatukan dua orang dari jenis kelamin yang sama ke dalam satu keluarga). Sakral karena melibatkan proses religius, sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan yang dianut oleh yang menjalani prosesinya, sehingga tidak hanya melibatkan hubungan antarmanusia, tetapi juga hubungan antara manusia dan Tuhannya. Melalui proses pernikahan tersebut, lahir sebuah keluarga baru di komunitas yang selanjutnya akan menjalankan berbagai peran dan fungsinya di masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya dan senyatanya pernikahan mengemban suatu amanah bagi masyarakat, untuk terlibat dalam suatu proses yang menjadikan komunitas berprogres ke arah yang lebih baik.
Permasalahannya ialah, banyak sekali pernikahan telah terlaksana di masyarakat yang melupakan amanah tersebut. Pernikahan seolah mempersempit fungsi sebagai suatu bentuk pelegalan dan penghalalan semata hubungan antara dua insan yang terlibat dalam ikatan emosional yang disebut dengan cinta (dan pada kenyataannya, bentuk emosi ini memiliki karakter mengikat, jika menolak untuk disebut sebagai membelenggu), tanpa mengingat fungsi dan perannya yang lain bagi masyarakat. Sebagian keputusan untuk menikah jarang melibatkan pertimbangan kesamaan visi dan misi antara kedua insan yang akan menjalaninya, jarang pula melibatkan pertimbangan (apabila diperkenankan menggunakan istilah yang sering disebutkan oleh Danang Tejo Pamungkas) chemistry antara karakter kedua insan yang menjalaninya. Oleh sebab tersebut, pernikahan tidak selalu menjadi lingkungan yang memfasilitasi perkembangan, tetapi dapat juga menjadi lingkungan yang mematikan perkembangan insan-insan yang menjalani pernikahan serta masyarakat yang disusun oleh keluarga baru yang terselenggara melalui prosesi tersebut.
Seperti halnya pohon pisang yang hanya akan tumbuh dan menghasilkan dengan baik di lingkungan tropis, manusia tertentu juga hanya akan tumbuh dan menghasilkan dengan baik di lingkungan tertentu. Seorang wanita penggagas kegiatan sosial terhadap masyarakat kelas menengah ke bawah tentu tidak akan mampu bergerak dengan leluasa apabila bersuamikan seorang pria yang tidak memiliki kepedulian terhadap penghapusan kesenjangan ekonomi di masyarakat. Seorang pria penggagas kehidupan politik dan pemerintahan yang adil dan sehat tentu tidak akan mampu bergerak dengan leluasa (atau bahkan perlahan-lahan terkikis idealismenya) apabila beristrikan wanita curang yang mengutamakan kesenangan pribadi di atas segala-galanya. Namun, bagaimana apabila wanita penggagas kegiatan sosial dan pria yang tidak memiliki kepedulian terhadap permasalahan ekonomi di masyarakat tersebut saling mencintai satu sama lain? Bagaimana apabila pasangan yang kedua juga saling mencintai satu sama lain? Realitasnya di masyarakat, mereka menikah kemudian saling menjajah satu sama lain, dan mematikan keleluasaan perkembangan masing-masing.
Cinta mengalahkan segalanya. (Dan) hal yang buruk dalam kisah ini adalah Cinta di sini membawa pada neraka dunia. *lebai*
Tentu saja tidak setiap pernikahan digagas oleh insan-insan visioner seperti yang penulis gambarkan di atas. Terdapat pula pernikahan yang dijalani oleh pasangan-pasangan yang ingin memadu cinta, hidup berbahagia, dan meneruskan keturunan saja. Penulis tidak akan teriritasi oleh pernikahan yang terakhir disebutkan apabila manusia yang terlibat di dalamnya secara pribadi memang hanya ingin memadu cinta, hidup berbahagia, dan meneruskan keturunan saja dalam hidupnya. Namun, ketika yang turut terlibat adalah manusia yang secara pribadi ingin meneruskan ambisi sejak masa lajang untuk memberi lingkungan yang fasilitatif untuk pertumbuhan masyarakat, penulis menjadi sangat teriritasi. Terlebih lagi, apabila penulis menjadi tempat melacur (melacur adalah abreviasi yang dipopulerkan oleh dr. Carla R. Machira, Sp.KJ untuk frase “melakukan curhat”) insan-tak-lagi-lajang yang tersiksa dalam kehidupan barunya karena tidak berpasangan dengan insan lain yang sevisi dan semisi.
Sekali lagi, tidak setiap pernikahan yang berdasar cinta semata berlanjut pada kisah tragis penjajahan. Sehingga pendapat penulis tidak cocok untuk digeneralisasi ke seluruh komunitas. Namun demikian, kisah tragis dan penjajahan dalam pernikahan tersebut eksis di sebagian komunitas. (Dan) hal tersebut adalah suatu permasalahan serius. *lebai lagi*
Terdapat pula sebagian orang di masyarakat yang memandang perjodohan sebagai bentuk penjajahan terkait pernikahan. Manusia-manusia yang akan menikah dijajah oleh pihak lain yang merasa ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka. Namun demikian, penulis mengenal bentuk perjodohan yang lain, yang populer di kalangan tidak luas yang gemar disambangi oleh penulis. Dalam prosesi pranikah yang tidak melibatkan perkenalan sebelumnya antara dua insan yang hendak menikah tersebut, persamaan visi serta misi serta chemistry antara karakter kedua orang yang akan menikah dijadikan pertimbangan utama. Selanjutnya, hal yang tidak pernah dilupakan juga adalah, kerelaan atau ketidakrelaan kedua belah pihak untuk berlanjut pada prosesi pernikahan senantiasa dihiraukan.
Dalam pandangan penulis, perjodohan seperti di atas lebih memiliki sedikit peluang untuk terjadinya penjajahan apabila dibandingkan dengan pernikahan atas dasar cinta semata, terlebih lagi bentuk perjodohan di masyarakat feodal dan tradisional yang tidak jarang akan membuat seseorang mengeluh, “Duh Ayah Ibu, ini bukan perkara punya suami dokter, pejabat, insinyur, pengacara, atau bahkan pemain bola. Ini adalah tentang lingkungan seperti apa yang bisa saya berikan untuk dia, lingkungan seperti apa yang bisa dia berikan untuk saya, dan lingkungan seperti apa yang bisa kami berikan berdua untuk masyarakat.”
Tulisan ini, sekali lagi, hanyalah pengejewantahan opini pribadi (dan barangkali kelompok), tetapi bukan opini keseluruhan publik. Catatan ini ingin mengabarkan tentang gejala umum yang dipersepsi oleh sebagian masyarakat. (Dan) tulisan ini bukan tentang gerakan feminisme. Hahahahaha... Terima kasih sudah membaca tulisan panjang ini, harus bermanfaat! =D
Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Umum Fakultas Kedokteran UGM/ RSUP dr. Sardjito Yogjakarta